Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sesama Muslim Kita Memang Bersaudara, Tapi Pembelaan atas Nama Kemanusiaan Lebih Utama


Oleh Zenwen Pador

Menanggapi sebuah artikel di situs Mojok dengan judul “Surat Terbuka untuk HMI yang Unjuk Rasa Bela Muslim Uighur di China”, saya menulis status di facebook seperti ini : “Makanya saya akan lebih pilih bela korban Bahar bin Smith ...itu pun kalau mereka belum punya pengacara lho ya.”

Seorang teman menanggapi dengan agak sinis : “Info dari luar negeri banyak pak zerwen... tentang kekejaman komunis china sama muslim di uighur... itu info sudah dshare sama jurnalis dari eropa yg ke sana udah banyak.... tapi yg aneh dan buat bingung pak zerwen itu agamanya apa yah... minimal sekedar memberikan aksi simpati aja diprotes.... dan disandingkan dengan perkara lain... ckckckcck”.

Walah.... sudahlah dia salah menuliskan nama saya, tak pakai huruf besar lagi pada huruf Z-nya, dengan seenaknya dia mempertanyakan apa agama saya. Padahal seingat saya ketika berhadapan dalam sebuah sidang pengadilan hubungan industrial dimana saya membela pekerja dan dia jadi kuasa hukumnya pengusaha kita sempat beberapa kali sholat jamaah bersama di mesjid pengadilan.

Wah jangan-jangan di pikir saya sudah pindah agama pula dengan menulis status semacam ini.

Namun dengan sok bijak sekalipun mangkel saya menjawab : “santai aja kali pak. Buat apa juga tanya agama saya apa..lagi siapa juga yang protes..ini negara demokrasi dan hukum. Kebebasan berpendapat dilindungi UU..paham kan?”

Untung saja dia tak lagi menanggapi, sehingga kemungkinan kusir berdebat dan kuda berlari tanpa kendali dapat dihindari.

Seorang  teman lainnya menanggapi status saya dengan sedikit bijak :

“Muslim itu seperti satu tubuh... Terhadap semua korban kita prihatin... Baik terhadap korban penganiayaan maupun korban kejahatan HAM.... Soal penganiayaan sudah ditangani kepolisian, lalu kenapa solidaritas terhadap sesama muslim di permasalahkan.. Seakan itu sesuatu yang tidak pantas.... Itu korbanya jutaan lho... Mari kira perlihatkanlah sedikit keberpihakan pada saudara muslim, karena sebesar biji zarah keberpihakan akan dinilai Allah SWT...”

Agak kalem saya menjawab : “Yang permasalahkan siapa? Emang nggak boleh orang lain punya sikap?”

Beneran saya agak baper karena agama saya diragukan. Ditambah lagi dengan kesan bahwa saya tidak care dengan sesama muslim. Padahal sama sekali bukan maksud saya untuk menafikan solidaritas muslim di Indonesia buat saudara kita, Muslim Uighur yang berada di provinsi Xinjiang, daratan Cina sana.

Namun saya sepakat dengan penulis esai yang judulnya saya kutip di atas. Kalau bicara solidaritas, Muslim di Xinjiang itu tidak hanya suku Uighur belaka tetapi juga banyak suku lainnya yang memeluk agama Islam. Kalaulah benar karena Islamnya mereka ditindas tentunya suku-suku yang lain seperti suku Kazakhs juga mengalami nasib yang sama. Nah terus kenapa pembelaan hanya ditujukan kepada suku Uighur belaka?

Dari logika sederhana ini saja patut kita pertanyakan apakah karena agamanya maka terjadi penindasan dan diskriminasi terhadap muslim Uighur?

Maka saya yakin bahwa ini mestinya ada faktor lain yaitu politik. Sebagaimana ditulis Novi Basuki dalam esai tersebut di atas bahwa orang-orang Uighur—terutama yang tinggal di Xinjiang bagian selatan—memang sudah lama ingin memerdekakan diri dari Cina. Bahkan sejak Cina masih dikuasai Dinasti Qing. Yakni sebelum Cina diperintah Partai Nasionalis yang pengaruhnya sejak 1949 disingkirkan Partai Komunis sampai sekarang.

Menurut Wang, Guru Besar Kobe University- sebagimana dikutip Novi,  sejak dulu kelompok-kelompok separatis Xinjiang memang menggunakan agama (dalam hal ini Islam) untuk melegitimasi gerakannya. Tujuannya agar mendapatkan dukungan dan simpati dari suku-suku lainnya di Xinjiang yang juga beragama Islam.

Sebab, kata guru besar Kobe University itu, hanya agamalah yang bisa dipakai buat menarik simpati suku lain yang juga tinggal di sana. Andaikan kelompok-kelompok separatis Uighur memakai isu kesukuan, niscaya muslim bersuku Kazakhs yang juga tak sedikit jumlahnya di Xinjiang, akan sulit bersimpati kepada mereka.

Dengan demikian jelas menurut saya ada indikasi politisasi agama dalam “konflik” antara Pemerintah Cina dengan Muslim Uighur.

Maka dengan pemahaman demikian apakah salah kalau saya lebih bersikap bersimpati dan membela saudara muslim saya yang justru mengalami kekerasan di tanahnya sendiri bahkan dilakukan oleh guru agamanya sendiri yang sudah jelas dinilai lebih tinggi tingkatan muslimnya?

Barangkali benar tidak “tempe to tempe” alias tidak sepadan membandingkan nasib muslim Uighur dengan nasib santri yang didengkuli oleh habibnya sendiri. Saya sepakat. Bukan maksud saya juga untuk membanding-bandingkan karena memang ini jelas berbeda faktanya. Kalau di Xinjiang itu antara pemerintah Cina yang katanya ateis dengan muslim Uigur. Sedangkan kejadian di Kemang, Bogor  itu adalah antara habib dengan murid-muridnya yang kebetulan sama-sama muslim.

Tapi saya hanya tak habis pikir kalau  seorang wakil ketua DPR, Fadli Zon --bahkan mungkin juga diamini oleh para pendukungnya termasuk yang tanya-tanya agama saya di atas-- begitu yakin dan percayanya bilang bahwa tindakan Kepolisian terhadap tersangka Bahar Bin Smith adalah kriminalisasi ulama. Padahal jelas-jelas tindakan semacam itu adalah kriminal murni dan wajib diproses secara hukum.

Sementara pada bagian lain mereka yang seirama dan senada dengan politisi partai oposisi ini menuding pemerintah tidak care dengan warga muslim karena tidak bersikap tegas terhadap Pemerintah Cina terkait masalah Uigur. Ada juga yang menenggarai Pemerintah Indonesia takut kepada Pemerintah Cina karena berbagai faktor terutama terkait kedekatan dengan Cina.

Walah Pemerintah Cina yang berkonflik dengan rakyatnya di Xinjiang sana, ujung-ujungnya Rezim Jokowi juga yang salah. Coba anda analisa bukankah ini kental sekali nuansa politisnya.

Segala urusan ujung-ujungnya Jokowi yang salah. Padahal kalau kita bicara kedekatan bukankah lebih dekat Capres Prabowo dengan Pemerintah Cina. Bukanlah dulu mereka yang hadir dalam ikut memeriahkan Hari Ulang Tahun kemerdekaan Cina  ke-69 sembari merilis pernyataan bahwa Cina penting bagi Indonesia. Hubungan harus dijaga dan ditingkatkan.

Duh, kenapa urusannya jadi ke pilpres ya. Pembaca,  saya hanya ingin menggarisbawahi betapa memang isu agama dimana-mana sangat menarik dipakai untuk urusan politik. Pada sisi lain kelompok tertentu seolah terlihat sangat peduli atas nama agama membela sesamanya dan menyerukan pembelaan sekalipun jauh di ujung dunia sana, sambil menyalahkan pihak lain yang dinilai kurang perhatian. 

Tetapi pada sisi lain yang nampak di pelupuk mata mereka tak begitu pedulikan saudara muslimnya sendiri yang mengalami tindak kekerasan di kampung halamannya sendiri dan dilakukan oleh guru agamanya sendiri yang sudah pasti sesama muslim juga.

Faktanya sepanjang penglihatan dan pengetahuan saya belum ada satupun elit politik yang menyatakan keprihatinan atas kekerasan yang dialami para santri Bahar Bin Smith yang kasusnya saat ini ditangani Kepolisian ini, kecuali kepedulian yang ditunjukkan oleh Komisi Perlinduangan Anak Indonesia (KPAI).

Justru banyak yang lebih menilai adanya kriminalisasi atas upaya penegakan hukum yang dilakukan Kepolisian. Naibnya lagi sasarannya adalah pemerintah yang berkuasa saaat ini. Tidak berpihak pada ulama sebaliknya mengkriminalisasi ulama.

Maka ada benarnya komentar teman medsos saya pada status yang sama, “Semut di ujung Monas tak terlihat, yang ada di ujung dunia tampak”. Walaupun saya agak bingung juga memahaminya mungkin maksudnya sebagaimana peribahasa gajah di pelupuk mata tidak nampak tapi semut di seberang lautan jelas terlihat.”

Namun lebih dari itu bila kembali ke status medsos saya yang agak kontroversial tersebut, semestinya kita memahami bahwa siapapun yang mengalami tindak kekerasan, pelanggaran HAM maupun diskriminasi sudah sepatutnya kita bela. Tidak melulu karena kesamaan agamanya dengan kita.

Tetapi lebih karena nilai-nilai kemanusian yang universal. Apapun agamannya. Maka janganlah membela hanya karena faktor agama karena itu berpotensi menimbulkan konflik antar agama.
Belalah karena nilai kemanusiaannya.

Maka saya lebih percaya dengan kata-kata bijak yang pernah disampaikan  Gus Dur. Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.

*****

Posting Komentar untuk "Sesama Muslim Kita Memang Bersaudara, Tapi Pembelaan atas Nama Kemanusiaan Lebih Utama"