Pendapat Berbeda Hakim MK Yang "Asal Beda"
Oleh Zenwen Pador
Sekalipun Mahkamah
Konstitusi (MK) telah menyatakan menolak seluruh tuntutan Paslon 01 dan 03
dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilu Pilpres, putusan MK ternyata tidaklah
bulat. Dari 8 (delapan) orang Hakim MK yang menyidangkan dan memutus perkara, 3
(tiga) Hakim MK yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat
menyampaikan Dissenting Opinion (Pendapat Berbeda).
Bila dibandingkan dengan
putusan mayoritas hakim MK yang menolak
keseluruhan tuntutan, pendapat berbeda yang disampaikan ketiga hakim MK ini
menurut saya agak aneh. Cenderung asal berbeda bahkan terkesan ngawur. Kontradiksi
antara pendapat mayoritas hakim dengan pendapat berbeda ini mengelitik rasa
ingin tahu saya apa sebenarnya yang melatarbelakangi, pertimbangan dan dasar
hukum pendapat berbeda ketiga hakim tersebut.
Dua dari tiga hakim yaitu
Saldi dan Enny hanya menyampaikan pendapat berbeda untuk dua dugaan pelanggaran
yang didalilkan kedua pemohon yaitu terkait dugaan politisasi bansos dan
menyangkut dugaan mobilisasi aparatur negara, Pj Kepala daerah dan aparatur desa. Kesimpulannya menurut kedua
Hakim ini dua dalil atas dua pelanggaran ini dinilai terbukti dalam
persidangan. Untuk itu kedua Hakim MK ini dalam bagian akhir dissentingnya
merekomendasikan untuk dilakukan pemungutan suara ulang.
Sementara itu hakim Arief
Hidayat lebih dahsyat lagi dalam dissentingnya. Hakim MK ini menilai hampir seluruh
dalil yang diajukan kedua pemohon terbukti dalam persidangan. Tetapi anehnya
dalam bagian akhir dissentingnya Arief Hidayat hanya menyatakan menerima
sebagian tuntutan kedua pemohon. Petitum yang tepat menurutnya ternyata juga
hanya perintah untuk melakukan pemungutan suara ulang pada beberapa provinsi.
Arief tidak juga sepakat dengan diskualifikasi Capres paslon 02 dan/atau Cawapres
02.
Harusnya kalau Arief
menilai Sebagian besar dalil yang diajukan kedua pemohon terbukti tentunya petitumnya
harus sama dengan petitum kedua pemohon yaitu setidaknya membatalkan Keputusan
KPU, menyatakan diskualifikasi paslon 02 dan mengggelar PSU tanpa mengikut
sertakan capres 02 dan/atau cawapres 02.
Dissenting Aneh
Bagaimana mungkin ketiga
hakim ini menilai dalil-dalil Pemohon paslon 01 dan 03 terbukti sementara
jelas-jelas dalam putusan mayoritas 5 (lima) hakim lainnya menyatakan tidak ada
bukti yang cukup untuk dapat menerima tuntutan kedua pemohon? Saya menilai aneh
ketiga dissenting dari hakim MK ini karena menurut saya ada logika dan analisa
sebab akibat yang tidak tepat, antara lain sebagai berikut:
Pertama, pendapat
berbeda menafikan konsep kepastian hukum dan pertanggungjawaban hukum.
Kedua, pendapat berbeda
melupakan esensi bahwa pengadilan MK pada dasarnya adalah memeriksa sengketa
bukan soal etika apalagi moral. Uraian yang disampaikan dalam dissenting lebih
banyak analisa yang dilatari pada dasar teoritis dan filosofis tetapi sama
sekali tidak melihat bahwa yang disidang dan diputus MK ini sebenarnya adalah sebuah
sengketa dimana hal-hal yang menyangkut fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan tentunya harus jelas dan meyakinkan.
Ketiga,
sama sekali tidak jelas analisis sebab akibat dalam pertimbangan-pertimbangan
yang diuraikan dalam dissenting. Sebagai contoh misal terkait dugaan politisasi bansos. Apa buktinya bahwa
memang akibat pembagian bansos maka pemilih pada suatu tempat/daerah memilih
paslon tertentu. Sementara misalnya bila kita bandingkan dengan survey Litbang
Kompas menyatakan tidak ada korelasi langsung antara pemberian bansos dengan
perolehan suara. Survei pastinya dilakukan dengan metode ilmiah yang jelas.
Serta yang paling penting
adalah tidak jelasnya berapa perkiraan jumlah suara yang dianggap didapat dari
kecurangan politisasi bansos ini yang hilang dari perolehan paslon 01 dan 03
dan dianggap lari ke paslon 02. Belum lagi kita bicara soal dampak dari kecurangan
akibat dugaaan politisasi bansos pada suatu tempat mengingat besarnya selisih
suara antara paslon 02 dengan 01 atau dengan 03. Mungkinkah kecurangan bansos
sampai puluhan juta suara paslon tertentu hilang akibat adanya pembagian bansos?
Nah, itu baru dari soal bansos.
Maka tidak terbayang bagi
saya bagaimana bisa Hakim Arief Hidayat sampai pada keyakinan bahwa seluruh
dalil yang disampaikan kedua pemohon terbukti dalam persidangan? Sementara
kedua pemohon sama sekali tak pernah menyebut berapa jumlah suara yang bisa
mereka klaim dari setiap dugaan kecurangan yang dituduhkan tersebut. Maka
sangatlah aneh bagi saya kalau kemudian ketiga hakim konsitusi ini
merekomendasikasn seharusnya diadakan pemungutan suara ulang di beberapa daerah
yang katanya ada pelanggaran pemilu baik pembagian bansos, mobilisasi aparat di sana tanpa ada kejelasan di TPS mana lokasi
kecurangan tersebut.
Selain itu kejelasan
tentang siapa pelalu kecurangan, bentuk kecurangan apa yang dilakukan serta apa
dan bagaimana akibat kecurangan tersebut sama sekali tidak jelas. Tapi kemudian
serta merta direkomendasikan pemungutan suara ulang? Dimana letak kepastian
hukumnya dan konsep pertanggungjawaban hukumnya?
Terkait bansos misalnya yang
didalilkan berbuat adalah Presiden Jokowi dan beberapa menterinya? Pertanyaannya
kemudian apakah Jokowi dan menterinya peserta pemilu? Bisakah perbuatan orang lain
yang kemungkinan menguntungkan salah satu Paslon kemudian harus mengakibatkan
kerugian kehilangan perolehan suara paslon tersebut? Padahal dalam
pertanggungjawaban hukum harus jelas siapa yang berbuat, siapa yang dirugikan
dan pihak mana yang wajib mempertangungjawabkan perbuatan tersebut? Adilkah
kalau jelas-jelas bukan Paslon yang berbuat tetapi dia harus menanggung akibat
dari perbuatan orang lain?
Menurut saya yang
diuraikan ketiga Hakim MK dalam pertimbangan dissentingnya adalah analisis
bahkan baru sekedar asumsi belaka. Mari kita cermati salah satu bagian uraian
yang disampaikan Hakim Saldi Isra dalam halaman 1023 putusan:
“Berdasarkan
pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk
kepentingan electoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali. Oleh
karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk
mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas
keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu. Terlebih, dalam waktu dekat,
yang hanya berbilang bulan akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah serentak secara nasional. Penggunaan anggaran negara/daerah oleh
petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah
satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum
dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan.
Dengan menyatakan
dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent
effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan
hal serupa. Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait
dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum.”
Katakanlah betul telah
terjadi politisi bansos oleh Presiden Jokowi dan beberapa menterinya. Fakta
berikutnya tentu yang harus jelas adalah seberapa besar pengaruhnya bagi
perolehan suara pemenang Pilpres? Atau seberapa besar dampaknya mengurangi
perolehan suara kedua Pemohon? Pertanyaan berikutnya lagi adalah kejelasan dan
kepastian di daerah mana saja dampak suara tersebut terjadi, di TPS mana saja?
Menafikan Prinsip
Kepastian dan Pertanggungjawaban Hukum
Kembali saya tegaskan ketiga
Hakim MK dalam pertimbangan dissentingnya menurut saya melupakan esensi
kepastian hukum atas peristiwa dugaan pelanggaran yang diyakininya terjadi
tersebut. Inilah keanehan mendasar berikutnya. Bahwa dalam memeriksa sebuah sengketa
dalil-dalil yang diajukan harus
berkaitan erat dengan bukti-bukti dan saksi yang diajukan bukan sekedar analisis
atau asumsi semata. Kalaulah mau dikedepankan tentang tanggungjawab moral yang
disebutkan harus dipahami bahwa persidangan yang sedang berlangsung bukanlah
pengadilan moral tetapi pengadilan sengketa hasil pemilihan umum.
Pada bagian lain yang
menurut saya menjadi masalah mendasar dari dissenting ini adalah ketiga Hakim
MK ini juga menafikan konsep pertanggungjawaban hukum tentang siapa berbuat
apa, apa akibatnya dan pihak mana yang wajib dimintai pertanggungjawaban hukum
atas perbuatan tersebut. Adilkah secara hukum kalau yang berbuat Presiden Jokowi
dan menteri-menterinya, sementara dampaknya belumlah juga pasti bagi perolehan
suara tapi kemudian pihak Paslon 02 harus menanggung akibat dari perbuatan
tersebut?
Pertanyaan serupa
tentunya berlaku juga bagi dugaan adanya mobilisasi aparatur, penunjukan Pj kepala daerah dan dukungan aparatur
pemerintahan desa. Dimana letak kepastian dan kejelasan pertannggungjawaban hukumnya?
Hal ini penting untuk
didudukkan karena berkaitan erat dengan petitum putusan dissenting yaitu memerintahkan
pemungutan suara ulang. Harus jelas dan konkret pada TPS-TPS desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota, serta provinsi mana saja PSU tersebut harus digelar?
Tapi memang menjadi jelas
bagi saya bahwa apa yang disampaikan ketiga Hakim MK ini dalam dissentingnya bukankah
konklusi atas telah terjadinya pelanggaran pemilu tapi baru sebatas keyakinan
atas analisis dan asumsi belaka.
Hal ini tercermin jelas dari misalnya kesimpulan akhir yang disebutkan hakim Saldi Isra sebagai berikut :“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat/aparatur negara/penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas.”
Saya coba cek kembali
daerah-daerah mana saja yang dimaksud Saldi Isra, sama sekali tidak jelas.
Dengan demikian perintah pemungutan suara ulangnya pun menjadi tidak jelas di
daerah mana saja karena memang dalil-dalil yang diajukan kedua pemohon pun
sesungguhnya memang tidak berkejelasan.
Sehingga pendapat Hakim
MK dalam dissenting opinion ini sama sekali tidak berpijak dari fakta-fakta
yang jelas dan konkret pula. Maka putusan dalam dissenting tentang perlunya
dilakukan pemungutan suara ulang pun tentunya menjadi tidak jelas pula.
__________________________
Penulis Advokat, Direktur
PKBH Andalas
Analisis yg tajam dan menarik 👍
BalasHapusBenar sekali. Kadang itulah kelemahan hakim Non-karier yg terjebak pada teori dan asumsi ketimbang melihat ada atau tidaknya nya hubungan kausalitas antara dalil pemohon dg fakta dan bukti pendukung yg muncul di persidangan. Mantap analisisnya Partner.
BalasHapus