Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akal-Akalan PDIP Gugat Hasil Pilpres


 

Oleh Zenwen Pador

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP melalui kuasa hukumnya yang dipimpin Prof. Gayus Lumbuun melayangkan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum atau KPU atas dugaan perbuatan melawan hukum di Pemilu 2024 pada Selasa, 2 April 2024. Gugatan dilayangkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Gayus sebagai Ketua Tim Hukum PDIP menyatakan gugatan tersebut bukan merupakan sengketa proses maupun hasil Pilpres 2024. Tetapi ditujukan kepada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU (onrechmatige overheidsdaad) sebagai pokok permasalahan atau obyeknya. PTUN telah menyatakan gugatan yang dilayangkan PDIP layak untuk diadili. Kelayakan gugatan itu dinyatakan dalam persidangan dismissal process pada 23 April 2024.

Untuk itu Gayus meminta penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sebaiknya menunggu putusan gugatan yang diajukan PDIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Penundaan penetapan Prabowo-Gibran oleh KPU, Kata Gayus, harus dilakukan agar tidak terjadi keadilan yang terlambat atau justice delayed.

Langkah hukum ini menurut saya hanyalah akal-akalan belaka dan kembali menegaskan sikap ambigu PDIP atas hasil Pilpres yang meng KO kan jagoannya Ganjar-Mahfud. Paslon 03 ini sudah mengucapkan selamat kepada Prabowo – Gibran pasca ketuk palu MK kemarin yang menolak seluruh gugatan Paslon 01 dan 03. Lah sekarang malah gugat lagi ke PTUN!

Sengketa Proses Pemilu dalam UU Pemilu

Pasal 466 UU Pemilu mengatur sengketa proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan Keputusan Kabupaten/Kota.

Dalam pasal Pasal 467 kemudian ditegaskan Bawaslu sesuai tingkatannya menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tersebut.

Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal penetapan Keputusan KPU.  Penyelesaian sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya perrnohonan.

Dalam pasal 469 diatur keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersilat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan  verilikasi Partai Politik Peserta Pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota legislative dan  penetapan Pasangan Calon.

Bila Keputusan Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, maka upaya hukum dapat diajukan kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Selanjutnya tegas diatur dalam Pasal 470 UU Pemilu Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota Legislatif, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU.

Selanjutnya dalam Pasal 471 diatur pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu ke PTUN, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu sebagaimana diuraikan di atas telah digunakan. Pengajuan gugatan atas sengketa TUN dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu.

Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling Lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tata usaha negara.

PTUN memeriksa dan memutus gugatan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. KPU wajib menindaklanjuti putusan PTUN paling lama 3 (tiga) hari kerja.

Gugatan Sia-Sia

Kalau kita cermati aturan di atas jelas gugatan PDIP ke PTUN sudah lewat waktu. PTUN tak lagi berwenang mengadili sengketa proses Pemilu terkait penetapan Gibran sebagai Cawapres. Apalagi sengketa hasil Pilpres juga sudah diputus MK dan KPU pun sudah mengeluarkan penetapan pasangan 02 sebagai pemenang Pilpres 2024.

Tapi memang sebagaimana disampaikan Ketua Tim Hukum PDIP di atas, sepertinya PDIP berusaha mencari celah hukum dengan mengatakan bahwa gugatan ke PTUN ini adalah gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Pastinya Tim Hukum PDIP menegaskan bahwa ini bukan sengketa proses pemilu tetapi gugatan TUN biasa dengan menggunakan dasar kewenangan PTUN mengadili sengketa terkait penerbitan Keputusan TUN dalam hal Keputusan KPU tentang Penetapan Capres dan Cawapres 2024.

Pertanyaanya kemudian mungkinkah celah hukum ini digunakan? Bagaimana potensi kemenangannya?

Memang PTUN sudah menyatakan gugatan tersebut lolos proses dismissal yaitu proses pemeriksaan pendahuluan untuk memastikan apakah formalitas gugatan yang diajukan sudah sesuai dengan ketentuan. Artinya PTUN akan segera memeriksa dan menyidangkan perkara tersebut. Tapi bagaimana putusannya nanti?

Menurut saya upaya hukum ini akan kandas di PTUN. Bagaimanapun gugatan yang diajukan PDIP adalah sengketa proses pemilu yaitu terkait penetapan paslon peserta Pemilu. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal  470 UU Pemilu Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota.

Memang secara umum PTUN berwenang memeriksa sengketa terkait Keputusan Pejabat TUN. Sebagaimana diatur dalam UU PTUN Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No  51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan Pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 

Namun dalam proses penegakan hukum ada asas hukum bahwa aturan khusus meniadakan aturan hukum umum (lex specialis derogat legi generali). Pengaturan Sengketa TUN dalam UU PTUN adalah aturan umum namun terkait sengketa TUN bidang Pemilu yaitu sengketa proses pemilu sudah diatur secara khusus dalam UU Pemilu. Maka dengan demikian para pihak dan pengadilan tentunya harus mengenyampingkan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU TUN dan harus mempedomani pengaturan sengketa TUN secara khusus yang telah diatur dalam UU Pemilu.

Lagipula kalaupun PTUN menyatakan berwenang mengadili gugatan ini secara formil akan terbentur pada mekanisme yang juga telah diatur dalam UU PTUN yaitu terkait pengajuan keberatan administrative dan tenggang waktu dalam mengajukan gugatan.

UU PTUN mengatur kewajiban bagi pihak yang merasa dirugikan atas keluarnya sebuah SK TUN untuk mengajukan keberatan administrative terlebih dulu sebagai syarat formil untuk dapat mengajukan gugatan TUN. Kalau keberatan administrative kepada pejabat berwenang tidak diajukan Pengadilan TUN akan menyatakan Gugatan Tidak Dapat diterima (NO).

Begitu juga halnya dengan tenggang waktu dalam mengajukan gugatan TUN hanya dapat dilakukan dalam waktu 90 (sembilan puluh hari) sejak Keputusan TUN dikeluarkan/diketahui oleh pihak yang mengajukan gugatan. Kita tahu SK Penetapan KPU tentang Penetapan Capres dan Cawapres  dalam Pilpres 2024 telah dikeluarkan dengan Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023, tanggal 13 November 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden  Tahun 2024.

Pasal 55 UU Peradilan TUN tegas menyebutkan bahwa Gugatan TUN dapat diajukan dalam waktu 90 (sembilan puluh hari) sejak dikeluarkannya Keputusan TUN. PDIP mengajukan gugatan tersebut pada 2 April 2024 ke PTUN. Pihak tergugat adalah KPU dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT dengan pihak penggugat PDIP diwakili oleh Megawati Soekarnoputri (Detik.com, 23/4/2024). Kalau kita hitung sejak tanggal 13 November 2023. Artinya gugatan tersebut diajukan sudah lewat tenggang waktu yang diatur yaitu 90 hari sejak tanggal 13 November 2023. Dengan demikian jelas gugatan pasti akan dinyatakan tidak dapat diterima.

Namun putusan  tidak dapat diterima tersebut adalah kemungkinan kedua. Kalau PTUN konsisten dengan asas hukum maka seharusnya PTUN menyatakan tidak berwenang memutus gugatan tersebut. Sekalipun sudah lolos proses dismissal bukan berarti PTUN berwenang memeriksa gugatan dimaksud. Karena pemeriksaan pendahuluan barulah tahapan pemeriksaan atas formalitas gugatan belum lagi menyangkut substansi gugatan termasuk belum mempertimbangkan soal kewenangan PTUN dan  tenggang waktu gugatan.

Saya kali ini sepakat dengan pendapat Denny Indrayana yang menyoroti langkah PDIP tidak lagi relevan lantaran sudah ada keputusan MK. Denny mengatakan putusan MK yang telah menolak seluruh gugatan pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD memberi kekuatan hukum pada Keputusan KPU untuk menetapkan pemenang pilpres (Katadata, 25/4/2024). 

Menurut Denny sesuai dengan norma hukum seharusnya tidak bisa membatalkan hasil Pilpres. “Gugatan demikian hanya menghadirkan gerakan moral, bukan legal,” kata Denny lewat pesan singkat, Rabu (24/4).  Lebih jauh ia mengatakan bila PDIP masih ingin memperjuangkan hasil Pilpres 2024, akan lebih baik bila dilakukan langkah politik. Salah satu langkah yang diambil adalah menggulirkan hak angket di DPR.

Bingung saya, langkah politis dengan pengajuan Hak Angket sebenarnya lebih jelas dan potensial. Kenapa PDIP malah mengambil langkah hukum yang lemah sekali dasar hukumnya. Sia-sia bro Gayus….

___________________

Penulis Advokat, Direktur PKBH Andalas

 

Posting Komentar untuk "Akal-Akalan PDIP Gugat Hasil Pilpres"