Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Konfigurasi Politik, Produk Hukum dan Judisial Review

Ilustrasi Rapat Badan Legislasi DPR (Foto : www.detik.com)


Analisis Perbandingan Pemikiran Moh.Mahfud MD dan Benny K.Harman

Oleh Zenwen Pador

Moh. Mahfud MD menggunakan asumsi dasar  hukum sebagai produk politik. Dengan asumsi dasar tersebut maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga  Mahfud meletakan politik sebagai variabel bebas dan hukum sebagai variabel terpengaruh. Dengan pernyataan hipotesis yang lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa konfigurasi politik suatu Negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif/populistik, sedangkan di Negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.

Karakter Produk Hukum
Kajian Mahfud difokuskan pada tiga produk bidang hukum yaitu :
a. Hukum Pemilihan Umum (Pemilu)
Pada era demokrasi liberal, berbagai eksperimen perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi Pemilu yang benar-benar fair, yaitu Pemilu untuk anggota DPR dan Konstituante pada tahun 1955. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No. No.7 tahun 1957.

Pada era Demokrasi Terpimpin tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu sesuai dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter. Sebaliknya lembaga perwakilan rakyat yang ada mengalami emaskulasi untuk akhirnya dibubarkan oleh presiden. Kondisi ini berlanjut pada era Orde Baru, UU No.15 tahun 1969 tentang Pemilu yang hampir selalu diperbarui setiap menjelang Pemilu, lebih cenderung berwatak konservatif/ortodok/elitis. Artinya lebih banyak memberikan keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. UU ini mengatur pengangkatan secara tetap anggota MPR/DPR oleh Presiden yang ditentukan oleh dan untuk visi politik pemerintah. 

b. Hukum Pemerintahan Daerah (Pemda)
Secara umum hukum Pemda yang berlaku pada era Demokrasi Liberal dapat dikualifikasikan sebagai produk hukum yang sangat responsif/populistik, sekalipun desentralisasi berjalan secara eksperimental dengan lahirnya UU Pemda sampai tiga kali yaitu UU No.1 tahun 1945, UU No.22 tahun 1948 dan UU No.1 tahun 1957. Pada era ini Pemda sangat leluasa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dibawah asas otonomi nyata seluas-luasnya. DPRD merupakan penanggungjawab utama desentralisasi sedangkan tugas pembantuan (medebewind) lebih banyak ditangani oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).

Pada era Demokrasi Terpimpin konsep praktek otonomi daerah yang telah berlangsung dinilai akan membahayakan keutuhan nasional karena tendensi pada tumbuhnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presdien Soekarno mengeluarkan Penpres No.6 tahun 1959 yang merombak secara total dasar-dasar yang dipakai dalam UU Pemda sebelumnya. Penpres kemudian berganti baju menjadi UU No.18 tahun 1965. Produk hukum tentang Pemda pada era ini sangat konservatif /ortodoks/elitis.

Pada era Orde Baru, konsep otonomi nyata seluas-luasnya diganti dengan konsep otonomi nyata dan bertanggungjawab yang lebih merupakan kewajiban bagi daerah. Asas ini dituangkan dalam Ketetapan MPRS No.IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan kedalam UU No.5 tahun 1974. Sekalipun tidak seekstrim UU No.18 tahun 1965, UU No.5 tahun 1974 cenderung berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pemerintah pusat lebih dominan. Kepala daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan berdasarkan pemilihan DPRD tanpa terikat pada peringkat. Kepala daerah adalah penguasa tunggal dalam bidang pemerintahan di wilayahnya masing-masing. 

c. Hukum Agraria
Pada era demokrasi liberal Menteri Agraria Soenarjo telah mengajukan RUU kepada DPR berdasarkan hasil kerja beberapa Panitia Agraria yang telah dibentuk sejak kemerdekaan. Namun RUU ini ditarik kembali oleh pemerintah karena terjadi perubahan konstitusi dengan keluarnya Dekrit 5 Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbarui dan disesuaikan dengan UUD 1945 kembali diajukan ke DPR pada era Demokrasi Terpimpin oleh Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).

UUPA menghapus semua watak Agraris Wet 1870 dan semua produk hukum yang menyertainya yaitu watak dualistik, feodal dan eksploitatif. Asas domeinverklaring digantikan dengan hak menguasai dari negara yang berorientasi pada upaya kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. UUPA berkarakter sangat responsif/populistil.

M. Mahfud MD (Foto : www.liputan6.com)

UUPA menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter berbeda dengan konfigurasi politik Demokrasi terpimpin ketika itu. Namun hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain karena rancangan UUPA berasal dari era demokrari liberal, memuat materi-materi yang membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti ditentang oleh semua peminpin politik Indonesia dan materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan menggangu sebuah rezim otoriter sekalipun.    

Dari ilustrasi di atas secara umum terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”. Pada strategi pembangunan ortodoks, peran lembaga-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum. Sebaliknya pada strategi pembangunan hukum responsive, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat.

Terlepas dari perdebatan strategi pembangunan seperti apa yang sedang dijalankan oleh sebuah negara, untuk menjaga agar setiap produk hukum yang dikeluarkan rezim tertentu menjadi lebih responsif maka dibutuhkan sebuah mekanisme uji materil terhadap sebuah produk hukum (judicial review).
Uji Materil pertama kali dipraktekkan oleh Hakim Agung John Marshall di Amerika Serikat.  Putusan Marshall tersebutlah yang menjadi awal dari pemahaman mengenai judicial review UU terhadap konstitusi di dalam teori ketatanegaraan dunia. Mahfud MD menjelaskan ada tiga alasan John Marshall dalam menerapkan sebuah mekanisme  review yang dilakukan oleh hakim, yaitu; Pertama, hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi sehingga kalau ada UU yang bertentangan dengannya maka hakim harus berani membatalkannya;  kedua, konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada lembaga pengujian terhadap peraturan yang dibawahnya agar konstitusi itu tidak diselewengkan; ketiga, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang meminta uji materi hakim harus  melakukannya.
Terkait uji materil ini secara lebih konkret usul yang diajukan berkenaan dengan judicial review oleh Mahfud MD adalah sebagai  berikut :
1.   Hak menguji secara meteriil (judicial review) terhadap UU secara prinsip diperlukan dalam rangka menjaga tertib hukum di Indonesia.
2.   Perlu diadakan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan mengenai hak menguji secara materiil (judicial review) terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU.

Ada beberapa saran perubahan atas ketentuan-ketentuan tentang judicial review terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU, mencakup tiga hal pokok :
1.       Pemberian jalan kepada Mahkamah Agung untuk melakukannya secara aktif tanpa harus menunggu adanya tuntutan (permohonan atau gugatan) sehingga dengan sendirinya tidak perlu melalui prosedur kasasi.
2.       Jika prosedur permohonan akan dipertahankan, maka harus ditegaskan bahwa subjek yang berhak melakukan permohonan judicial review (di samping jalur aktif Mahkamah Agung yang tidak harus menunggu tuntutan) adalah badan hukum publik di luar eksekutif atau organisasi profesi yang dapat mewakili semua elemen yang terkena sifat umum suatu peraturan perundang-undangan.
3.       Pencabutan atas peraturan perundang-undangan yang dikenakan judicial review harus berlaku otomatis mengikuti keputusan Mahkamah Agung tanpa perlu menunggu pencabutan lagi dari instansi yang mengeluarkannya.
Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman

Dalam pandangan Mahfud MD terlihat bahwa untuk mengawal agar produk hukum tetap berkarakter responsif dan populistik diperlukan sebuah mekanisme uji materi (judicial review) yang dipegang oleh kekuasaan kehakiman. Dalam konteks ini tentunya kekuasaan kehakiman yang mampu mengkoreksi sebuah produk hukum  yang  ortodoks/konservatif tentunya adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan  independent.

Terkait kekuasaan kehakiman ini senada dengan Mahfud MD, bagaimana gambaran kekuasaan kehakiman suatu negara menurut Benny K.Harman juga adalah sangat bergantung kepada bagaimana konfigurasi politik yang terbentuk pada negara bersangkutan.

Benny K. Harman (Foto : www.detik.com)
Dalam tesisnya tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap kekuasaan Kehakiman Sejak Kembali ke UUD 1945, yang kemudian diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Masyarakat (eLSAM) dalam bentuk buku dalam tahun 1997, Benny K Harman  melihat hubungan linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman. Menurutnya apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.

Menyangkut kekuasaan kehakiman, UUD 1945 sebelum amandemen mengatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Baik dalam kedua Pasal tersebut maupun dalam penjelasannya dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, ia merupakan kekuasaan negara yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, UUD mensyaratkan pula agar UU menjamin kedudukan hakim-hakim. Tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim, UUD juga meminta kedua masalah itu diatur dalam UU disertai larangan kepada pembuat UU untuk mereduksi atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya.

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat agar ia leluasa dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menerapkan Cita Hukum (Rechtsidee) dalam perkara-perkara kongkret. Artinya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya harus menjadikan .Cita Hukum sebagai patokan dasar mengenai adil dan tidak adil dan karenanya dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan negara lainnya jika diyakininya bertentangan dengan Cita Hukum.

Pada tingkat pelaksanaan, karakter kekuasaan kehakiman sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang diterapkan. Jika konfigurasi politiknya demokratis maka kekuasaan kehakiman akan tampil otonom, terpisah dari kekuasaan pemerintahan negara dan dalam menjalankan fungsinya tidak dipengaruhi dan dikendalikan kehendak-kepentingan kekuasaan negara lainnya. Sebaliknya jika konfigurasi politik yang diterapkan tidak demokratis atau otoriter maka kekuasaan kehakiman tampil tidak otonom, menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, dan karena itu hanya menjalankan fungsi sebagai instrumen untuk melaksanakan dan mengamankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara.

Kajian yang dilakukan Benny K Harman  ini menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari konfigurasi politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 itu, terdapat dua model sistem politik yang berlaku di Indonesia yaitu sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1996/1997).

Pada era sistem politik Demokrasi Terpimpin kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 19 tahun 1964 dan UU No 13 tahun 1965. Sedangkan pada periode sistem politik Demokrasi Pancasila, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 14 tahun 1970 sebagai UU pokok dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Dari penelitian ini terlihat bahwa konfigurasi politik yang executive heavy sangat mewarnai proses pembentukan UU yang mengatur kekuasaan kehakiman. Kedudukan kekuasaan kehakiman menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara dan fungsi utamanya ialah menjalankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara.

Pada era Demokrasi Terpimpin, berdasarkan Undang-Undang No.19 tahun 1964 tentang kekuatan pokok kekuasaan kehakiman, dalam pasal 19  dinyatakan: “demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal pengadilan.” Di dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa trias politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional indonesia karena kita sedang berada dalam revolusi dan dikatakan selanjutnya bahwa pengadilan adalah tidak bebas dalam pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.

Aturan ini jelas bertentangan dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan 25 yang menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Dengan demikian kekuasaan kehakiman pada  demokrasi terpimpin tergolong produk hukum konservatif/ortodoks. Pemerintah sudah terlalu jauh mencampuri urusan lembaga yudikatif yang akan berdampak kepada hilangnya kemerdekaan dan keadilan hukum pada rakyat.

Sementara itu pada era Demokrasi Pancasila , dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman terjadi dualisme dalam kekuasaan kehakiman, tekhnis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung  sedangkan administrasinya berada di bawah Departemen Kehakiman. Dualisme kekuasaan kehakiman inilah yang kemudian melahirkan perselingkuhan peradilan dan hakim tunduk kepada  kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Seoharto dan menjadi petanda kekalahan kaum reformis saat itu.  Situasi kekuasaan yang menempel pada kekusaan kehakiman berdampak pada tidak independennya putusan para hakim. Kalaupun ada hakim yang menjaga nurani dan keadilan, sesungguhnya nasib hakim tersebut dipertaruhkan masa depan karir dan kehidupannya. Ketundukan pada titah kekuasaan menjadi prasyarat kemudahan kenaikan pangkat dan masa depan karir mereka. Di era Orde Baru, putusan hukum terutama yang terkait dengan kekuasaan telah tersetting sedemikan rupa mulai dari Kepolisian, Kejaksaan sampai pada putusan akhir di instistusi Kehakiman.

UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas memberikan ruang intervensi bagi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga Peradilan. UU No. 14 tentang 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung. Undang-Undang memiliki kelemahan karena Mahkamah Agung hanya diberikan menguji materi dibawah Undang-Undang. UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum mengatur tentang kedudukan susunan organisasi, kekuasaan, tata kerja dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang asasnya diatur diatur UU NO. 14 tahun 1970.

Undang-Undang ini mempertegas terhadap dualisme kekuasaan kehakiman dengan tetap mempertahankan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan oleh Departemen Kehakiman, sedangkan Mahkamah Agung  mengurusi pembinaan teknis  peradilan. Di samping itu, terlihat dominasi eksekutif terhadap pemangku kekuasaan yang lain sehingga bisa dipastikan kelembagaan di bawah subordinasi kekuasaan eksekutif.
______________ 
Penulis adalah Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)

Posting Komentar untuk "Hubungan Konfigurasi Politik, Produk Hukum dan Judisial Review"