Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mafia Peradilan dan Wiji Thukul

Ilustrasi Mafia Peradilan. www.mediaindonesia.com, 30/9/2017

Seorang rekan advokat dengan miris menceritakan pengalamannya pertama kali menjalankan tugas dari advokat seniornya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada hakim dalam rangka memuluskan permohonan penangguhan penahanan bagi kliennya dalam proses persidangan pidana. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau sebelumnya dengan jaksa penuntut umum kantor hukumnya mengeluarkan anggaran Rp7,5 juta agar klien mereka tidak ditahan dalam proses penuntutan maka setelah tawar menawar yang cukup alot kali ini mereka hanya mengeluarkan Rp5 juta agar klien mereka tidak ditahan dalam proses pemeriksaan oleh hakim di persidangan.
Setelah itu, biaya lain juga harus disiapkan paling tidak ketika vonis akan dibuat. Semua biaya semacam itu pada akhirnya nanti akan dibebankan kepada klien. Praktek serupa adalah hal yang biasa dalam menjalankan profesi hukum. Demikian kesimpulan cerita. Kalau tidak begitu, jangan harap seorang advokat dapat leluasa menjalankan profesinya. Relasi dengan aparat penegak hukum lainnya akan terganggu dan cenderung dimusuhi.
Artinya tidak berguna segala macam pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan penanganan kasus, karena pada akhirnya yang menentukan adalah uang. Artinya lagi tidak terlalu banyak berguna keberadaan advokat dalam memberikan jasa hukum kepada kliennya. Kalau sekedar bayar membayar dan transaksi seperti itu saya yakin masyarakat awam pun mampu melakukannya tak perlu didampingi advokat, yang tentunya tidaklah gratis.
Apakah advokat sekaliber Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis dan beberapa nama yang terkenal idealis lainnya dalam menjalankan profesi mereka tidak menghadapi kondisi serupa? Tidak menyuap, tidak melobi dan tidak mengandalkan relasi dengan aparat hukum lain untuk memenangkan perkara yang ditanganinya? Kalau tidak bagaimana mereka bisa eksis dan semakin berjaya dengan profesinya padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau tak mau bayar jangan harap perkara menang?
Dalam hal ini saya tak bisa berspekulasi. Tetapi yang jelas masalah praktek mafia peradilan memang tampaknya masih menjadi tantangan utama bagi reformasi penegakan hukum. Kondisi ini merupakan tugas berat bagi Mahkamah Agung, Komisi Judisial, pejabat penegak hukum lainnya serta organisasi profesi advokat tentunya dalam meningkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum.
Menegakkan Etika Profesi

Bagi sebagian kalangan advokat ada pemahaman bahwa seolah-olah mereka berada pada posisi yang diperas oleh aparat penegak hukum lainya. Asumsinya, advokat lebih mudah memperoleh penghasilan besar dari kasus yang mereka tangani sementara aparat penegak hukum lain hanya mengandalkan gaji bulanan dengan berbagai tunjangan yang tetap saja dipahami tidak akan lebih besar dari pendapatan seorang advokat yang sukses tentunya. Maka ketika advokat mulai bekerja menangani kasus sekaligus akan menjadi ladang bagi-bagi rezeki bagi aparat hukum lainnya.
Pada sisi lain bila permintaan biaya-biaya lain tidak dipenuhi oleh advokat dikuatirkan akan berpengaruh bagi kasus yang mereka tangani. Intinya nasib kliennya akan berada di ujung tanduk.
Klien mana yang mau menderita kerugian terlalu besar apalagi bila harus menjadi pesakitan dengan hukuman yang maksimal. Maka prinsip ekonomipun bekerja di sini. Biarlah mengeluarkan sejumlah cost tetapi besarnya tidak sebesar kerugian bila harus menjalani hukuman maksimal, sekalipun sudah jelas posisi hukumnya lemah, atau memang berada pada pihak yang bersalah.
Pada kondisi ini seolah-olah advokat berada dalam dilema antara tekanan aparat penegak hukum dengan posisi klien mereka yang kebanyakan berpikiran pragmatis. Maka tidak bisa tidak etika profesipun terabaikan dengan justifikasi nasib klien. Sekalipun dengan demikian entah sadar entah tidak aturan hukumpun telah dilanggar.
Tetapi benarkan advokat dalam kondisi demikian berada dalam kondisi tertindas hingga terpaksa memenuhi atau menjalankan praktek serupa di atas?
UU Advokat menegaskan Profesi Advokat adalah profesi bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Sebelum menjalankan profesinya seorang advokat telah bersumpah di antaranya akan bertindak jujur berdasarkan hukum dan keadilan dalam melaksanakan tugas profesinya, menjaga tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai advokat.
Hemat saya bila sumpah ini saja diingat dan dijalankan oleh semua advokat idealnya mafia peradilan tidak akan terjadi. Tetapi kalau sebagian besar advokat tidak memiliki integritas dan lebih berprinsip siap sedia membela siapa saja yang bayar maka tentunya profesi advokat sebagai profesi yang terhormat tidak akan bertemu realisasinya.
Maka selain membangun mekanisme rekrutment yang tidak hanya mementingkan pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi juga menekankan aspek moral dan integritas seorang calon advokat, menerapkan sistem pengawasan profesi yang mestiya terhindar dari semangat buta pembelaan “korp” profesi, tak bisa tidak memberantas mafia peradilan harus dimulai dari advokat itu sendiri. Sebab baik sistem rekruitment dan pengawasan serta penegakan etika profesi tentunya akan diisi oleh para advokat itu sendiri. 
Kalau yang merekrut dan mengawasi etika profesi adalah advokat yang tidak punya integritas hasilnya akan sama dengan istilah “jeruk makan jeruk”. Maka setiap advokat harus menegakkan etika profesinya. Jangan biarkan advokat sebagai profesi terhormat harus tertindas dan terpaksa melanggar hukum dan etika sekaligus menjadi ladang perasan oleh aparat hukum lainnya.
Bersikap kompromi agar hubungan aman dengan aparat penegak hukum tak juga ada gunanya karena siapapun orangnya tak akan bisa tentram dari olok-olok dan umpatan masyarakat sekalipun bergelimang harta hasil menggadaikan kehormatan profesi. Maka ada baiknya kita meminjam bait sajak Wiji Thukul ;” Hanya ada satu kata : Lawan !”.**

Posting Komentar untuk "Mafia Peradilan dan Wiji Thukul"