Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami (Kembali) Tindak Pidana Kehutanan


Sampai saat ini sepertinya masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di tingkat Pengadilan Negeri dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan berikutnya.

Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT) merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi. Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya kegiatannya adalah kegiatan ilegal.
Tindak Pidana Kehutanan
Istilah Tindak Pidana diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda. Sekalipun demikian menurut Adam Chazawi (2002), tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht –WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981.
Para ahli hukum nampaknya belum memiliki kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik dan lain-lain (Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, hal 68). Namun dalam peraturan perundang-undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana.
Secara sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang, termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU No. 1 tahun 1981) tindak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai Pelanggaran diatur dalam pasal 489 – pasal 569 KUHP.
Namun dalam semua pasal yang ada dalam KUHP kita tidak akan menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup , UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti UU No. 4 tahun 1982). Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana Umum (KUHP – UU No. 1 tahun 1981).

Bila kita cermati dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam.

Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem penyangga kehidupan.
Dalam pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan. 


Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada pasal 38 ayat 4 disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 tentang ancaman hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam pasal 50 dan pasal 38 ayat (4).
Dalam Pasal 19 ayat (1), pasal 21 dan pasal 33 UU No. 5 tahun 1990 juga dicantumkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam pasal 40-nya ditegaskan tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana tindak pidana di bidang lainnya.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa pasal menyangkut Ketentuan Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya pasal 43 ayat (3), pasal 44 ayat (2), pasal 45 dan pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.
Penebangan di luar izin sebagai Tindak Pidana Kehutanan
Pasal 50 ayat (3) butir e UU No.41 tahun 199 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat berwenang. Pasal 78 ayat (4) UU yang sama menegaskan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 50 ayat (3) butir e dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal 5 (lima) milyar rupiah.
Bila diperinci unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut sebagai berikut :
1. Barangsiapa ;
2. Dengan sengaja;
3. Menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan;
4. Tanpa hak atau tanpa izin pejabat berwenang.
Dalam kerangka Peraturan Pemerintah (PP) No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kehutanan Serta Pemanfaatan Hutan, izin pemanfaatan hutan didefinisikan sebagai izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan.
Dalam kerangka ini jelas bahwa setiap izin selalu diikuti oleh areal hutan tertentu yang diizinkan untuk dimanfaatkan. Maka bila ada aktivitas penebangan yang dilakukan pemegang izin di luar areal yang diizinkan artinya dia melakukan aktivitas tanpa izin, karena izin yang dia terima bukan untuk areal tersebut. Dengan demikian jelas maka penebangan hutan, pemanenanan atau pemungutan hasil hutan yang dilakukan di luar areal izin yang diberikan adalah tindak pidana kehutanan.
Itulah sebabnya setelah izin diterbitkan, setiap pemegang izin tidak serta merta dapat melakukan aktivitas penebangan hutan, khususnya untuk izin usaha pemanfaatan hutan kayu. Pasal 71 PP No.6 tahun 2007 mewajibkan setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kayu untuk menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH, melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun untuk IUPHHK dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman, serta melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman.
Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan tentu maksudnya tidak langsung melakukan kegiatan penebangan kayu. Langkah pertama tentunya adalah melaksanakan penataan batas untuk memastikan batas-batas areal hutan yang diizinkan untuk dimanfaatkan. Bila penebangan dilakukan tanpa sebelumnya ada penataan batas, sudah dapat dipastikan bahwa aktivitas tersebut berpotensi tindak pidana kehutanan, sekurang-kurangnya tergolong kesalahan administratif. Untuk membuktikan tentunya diperlukan memastikan areal hutan mana yang telah ditebang. Bila ternyata berada di luar areal yang diizinkan tentunya tergolong tindak pidana kehutanan, tetapi apabila masih berada dalam areal hutan yang diizinkan barulah tergolong kesalahan administratif.
Lalu bagaimana dengan penebangan yang dilakukan di luar blok tebangan atau dilakukan sebelum RKT disahkan? Memang dalam Pasal 74 PP No.6 tahun 2007 ditegaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam hutan alam pada hutan produksi yang menebang kayu sebelum RKT disahkan, menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan koridor, menebang kayu dibawah batas diameter yang diizinkan, menebang kayu diluar blok tebangan yang diizinkan dikenakan sanksi administrasi dengan keharusan membayar denda sebanyak 15 (lima belas) kali harga dasar kayu yang ditebang.
Sehingga banyak kalangan berpendapat bahwa penebangan di luar blok tebangan atau penebangan yang dilakukan sebelum RKT disahkan bukanlah tindak pidana kehutanan. Secara umum pendapat ini dapat dibenarkan. Tetapi tentunya harus dipertegas dulu penebangan di luar blok tebangan dan penebangan sebelum RKT disahkan yang bagaimana yang dapat digolongkan pada kesalahan administratif. Kalaulah aktivitas tersebut dilakukan masih dalam areal hutan sesuai izin yang diberikan barulah dapat digolongkan sebagai kesalahan administrasi tetapi kalau kegiatan tersebut dilakukan di luar areal izin yang diberikan tentulah perbuatan tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana kehutanan.
Begitu juga halnya dengan kegiatan lain dalam pasal 74 PP No.6 tahun 2007 tersebut, seperti menebang kayu untuk koridor tanpa atau tidak sesuai dengan izin dan menebang kayu di bawah diameter yang ditentukan. Bila semua kegiatan tersebut dilakukan di luar areal hutan yang diizinkan tentu saja perbuatan tersebut bukanlah kesalahan administratif tetapi adalah tindak pidana kehutanan. Sehingga selain dapat dijatuhi pidana (penjara dan denda) bagi pelakunya juga harus membayar gantirugi sesuai pasal 80 ayat (1) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pidana Kehutanan Adelin Lis
Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Ketua MA Bagir Manan telah menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah berikut kewajiban-kewajiban lainnya kepada Adelin Lis. Demikian hasil rapat permusyawaratan majelis hakim yang digelar pada Kamis, 31 Juli 2008.
Putusan ini adalah kabar gembira bagi para aktivis anti ilegal logging dan gerakan anti korupsi di Indonesia. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang telah menjatuhkan putusan bebas kepada Adelin Lis.
Namun dibalik berita gembira ini tak bisa dipungkiri bahwa sekaligus dua putusan yang berbeda ini telah mempertegas kontroversi dalam penanganan kasus-kasus ilegal logging di Indonesia. Secara langsung bagi Departemen Kehutanan putusan terakhir ini menjadi tamparan yang agak menyakitkan karena sebelumnya secara resmi Departemen Kehutanan juga telah menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Adelin Lis bersama perusahaan HPHnya bukanlah tergolong tindak pidana kehutanan tetapi merupakan kesalahan administrasi.
Sementara dalam putusan kasasi MA menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis terbukti melakukan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut.

Kumulasi Pertanggungjawaban Kehutanan
Dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terlihat bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama. Untuk tindak pidana kehutanan pasal yang didakwakan adalah Pasal 50 ayat (2) jo pasal 78 ayat (1) dan ayat (14) UU No.41tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 50 ayat (2) menegaskan setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Penjelasan ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang meyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Tetapi pasal ini memang tidak menyebutkan perbuatan yang bagaimana yang dapat didakwa dengan pasal ini. Apakah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan izin yang diberikan tetapi kemudian dia menyebabkan kerusakan hutan dapat dikenakan pasal ini? Sebagai contoh penebangan dalam kawasan di luar RKT atau praktek penebangan kayu yang tidak menerapkan sistem silvikultur atau sistem tebang pilih apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat didakwa dengan pasal ini.
Sejatinya berbagai ketentuan yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin baik sebelum maupun sesudah memperoleh izin bertujuan agar praktek-praktek pengusahaan hutan tidak menyebabkan kerusakan hutan. Apabila berbagai ketentuan seperti penerapan sistem tebang pilih tidak dilakukan maka akan dikuatirkan akan menyebabkan kerusakan hutan.
Pasal 50 ayat (2) adalah untuk mengantisipasi dan memberikan kabar pertakut kepada pemegang izin untuk menerapkan praktek-praktek lestari dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar praktek pengusahaan hutan yang dilakukan tidak menyebabkan kerusakan hutan. Maka sekalipun tidak ditegaskan perbuatan apa yang dimaksudkan akan tetapi apabila secara nyata telah terjadi kerusakan hutan akibat praktek-praktek pengusahaan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka penanggungjawab pengusahaan hutan bersangkutan dapat didakwa dengan pasal ini.
Selain itu perbuatan-perbuatan pemegang izin seperti melakukan penebangan secara serampangan sekalipun dilakukan di dalam areal hutan yang diizinkan juga adalah sebuah pelanggaran administratif. Sehingga paling tidak atas praktek penebangan hutan yang serampangan tersebut selain dapat dikenakan sanksi administratif, si pemegang izin juga dapat dijatuhi hukuman pidana apabila terbukti bahwa kesalahan administratif tersebut menyebabkan kerusakan hutan.
Apabila secara materil telah dapat dibuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan akibat praktek pengusahaan hutan tinggal dilihat siapa-siapa saja yang harus bertanggungjawab atas kerusakan hutan tersebut. Dalam konteks kasus Adelin Lis misalnya apabila memang sudah terbukti adanya kerusakan hutan apalagi terbukti dilakukan pelanggaran administratif berupa tidak digunakannya sistem silvikultur dan adanya praktek penebangan di luar areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) pertanyaannya kemudian apakah memang menjadi tanggungjawab Adelin Lis atas terjadinya perbuatan tersebut?
Dalam dakwaan, Adelin Lis disebutkan sebagai Direktur Keuangan/Umum PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI). Pertanyaan lanjutannya kemudian adalah apakah peran dan tanggungjawab Adelin Lis atas terjadinya kerusakan hutan dalam areal konsesinya? Bila kita cermati posisi Adelin Lin termasuk dalam jajaran direksi yaitu sebagai Direktur Keuangan/Umum. Secara jelas juga dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah menguraikan bahwa akibat tidak direalisasikan anggaran yang telah ditetapkan guna melaksanakan sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia (silvikultur) oleh terdakwa mengakibatkan dibuatnya laporan fiktif hasil cruising.
Dengan demikian jelas kalau memang telah ada kerusakan hutan yang diakibatkan operasional pemegang izin maka dapat disimpulkan telah terjadi tindak pidana kehutanan. Dan dalam konteks kasus Adelin Lis sejak awal di pengadilan tingkat pertama (PN Medan) mestinya sudah dapat dipastikan bahwa Adelin Lis telah melakukan tindak pidana kehutanan. Tapi, nampaknya hal-hal inilah yang tidak dipertimbangkan majelis hakim PN Medan sehingga lahirlah putusan bebas terhadap Adelin Lis. Tetapi syukurlah putusan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tinggal sekarang kita tunggu kerja keras Kejaksaan untuk segera mengeksekusi terpidana.
Artikel ini sudah pernah dimuat pada www.zpador.wordpres.com, 8/11/2008

Posting Komentar untuk "Memahami (Kembali) Tindak Pidana Kehutanan"