Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menanti Hasil Komite Etik

Ketua Komite Etik KPK terkait bocornya draft Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK, Anies Baswedan menyatakan sejauh ini Komite telah memiliki konstruksi siapa yang membocorkan dan prosesnya.Termasuk sumber yang berinteraksi dengan pihak eksternal. Dia mengungkapkan, pihaknya sudah menemukan motif awal terkait pembocoran itu (Koran Sindo, 8 Maret 2013).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sementara ini kuat dugaan Komite Etik bahwa awal mula bocornya draft Sprindik tersebut berasal dari orang dalam KPK. Orang dalam inilah yang kemudian berinteraksi dengan pihak eksternal sampai akhirnya surat rahasia tersebut terpublikasi luas di media massa. Pertanyaannya kemudian orang dalam tersebut apakah level pimpinan KPK atau bukan?
Sebelumnya Juru Bicara KPK, Johan Budi menjelaskan, ada dugaan pembocor Sprindik di level pimpinan. Karena wilayahnya bisa dari pegawai sampai pimpinan, itulah sebabnya Komite Etik dibentuk (Koran Sindo, 22 Februari 2013).
Pimpinan atau Bukan?
Menariknya sempat beredar info dugaan pembocor Sprindik dari level pimpinan adalah Ketua KPK sendiri. Sekalipun Jubir KPK dalam sebuah keterangan pers pernah membantahnya. Abraham sendiri menolak tudingan dirinya yang membocorkan sprindik. “Saya tidak pernah membocorkan, itu semua fitnah untuk menjatuhkan saya dari (jabatan) ketua (KPK),” (Koran Sindo, 22 Februari 2013).
Tidak jelas dari mana asalnya info bahwa pembocor draft tersebut adalah Ketua KPK sendiri. Namun dari wacana di atas terlihat sedikit keanehan. Apa dasarnya jubir KPK yakin bahwa memang bukan Ketua KPK yang membocorkan draft sprindik sementara Komite Etik baru akan mulai bekerja mengungkapnya. Seolah-olah Jubir KPK secara langsung telah menunjukkan keberpihakannya, sekalipun tanpa dasar yang jelas.
Tapi yang pasti bocornya draft Sprindik tersebut membuka tabir tentang perbedaan pendapat antara para pimpinan KPK. Dari draft tersebut diketahui bahwa 2 dari 5 pimpinan KPK belum menyetujui penetapan Anas sebagai tersangka. Bahkan salah seorang pimpinan dengan tegas menyatakan telah menarik kembali tandatangannya pada draft tersebut. Fakta itu menunjukkan bahwa pimpinan KPK tidak kompak dalam penyelidikan kasus Hambalang. Setidaknya ada kesan perbedaan pandangan yang demikian krusial sebelum akhirnya sepakat menetapkan Anas sebagai tersangka.
Perbedaan pandang dan pertentangan antara 5 (lima) pimpinan KPK bisa saja menjadi pemicu satu atau beberapa pimpinan merasa perlu untuk membocorkan draft Sprindik tersebut. Motifnya bisa sebagai upaya untuk menegaskan sikap tentang siapa yang berkeyakinan kuat bahwa status Anas Urbaningrum harus segera dijadikan tersangka serta siapa pimpinan yang belum yakin dengan langkah tersebut.
Masalah Krusial
Namun demikian kalaulah benar pembocor draft Sprindik ini di level pimpinan niscaya ini masalah maha besar bagi KPK. Artinya sudah sangat jelas bahwa kelima pimpinan KPK tidak berada pada satu visi yang sama dalam menempuh jalan dalam memberantas korupsi. Cara dan jalan yang sama bagi KPK tentunya sangat krusial yang tidak hanya menentukan hasil pemberantasan korupsi tetapi juga mempengaruhi image kelembagaan KPK di mata publik dalam menegakkan hukum yang tentunya juga jangan sampai menggunakan cara-cara yang melanggar hukum.
Kalaulah bocornya draft Sprindik dilakukan oleh orang dalam yang levelnya staf di KPK mungkin tidak seserius masalahnya bila dilakukan oleh pimpinan. Namun tetap menjadi preseden buruk ke depan terhadap wibawa KPK dalam pemberantasan korupsi. Kesan yang muncul adalah betapa lemahnya pengawasan internal KPK dan sangat ironis dan berbanding terbalik bila dibandingkan dengan kewenanganan yang demikian besar yang dimilikinya sebagai lembaga “superbody”. Dan tentunya ini akan menimbulkan antipati terhadap profesionalisme dan kinerja KPK ke depan.
Namun konsekuensi yang ditanggung KPK jelas berbeda. Bila benar pembocor draft Sprindik adalah pimpinan KPK maka akan berpengaruh demikian besar dalam kinerja KPK mengungkap berbagai kasus besar yang sedang ditangani saat ini, khususnya kasus Hambalang yang telah menjadikan Anas sebagai tersangka. Pimpinan KPK tersebut tentu sangat berpeluang jadi tersangka. Dan tentunya ini preseden yang sangat buruk bagi wibawa KPK dalam memberantas korupsi.
Pidana Surat Rahasia
Sejatinya draft sprindik adalah surat rahasia yang tidak boleh bocor ke publik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku tegas terkait pembocor rahasia sebagaimana diatur dalam pasal 322 ayat (1)yang menegaskan barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Dengan demikian jelas bahwa bocornya draft sprindik ini adalah tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara. Membocorkan draft sprindik tidak hanya melanggar etika tetapi juga tindak pidana. Bahkan kabarnya, salah seorang loyalis Anas Urbaningrum, telah melaporkan dugaan tindak pidana pembocoran draft Sprindik ini ke Mabes Polri.
Asas Manfaat
Persoalannya kemudian apakah urgensinya mengungkap dan menghukum pembocor draft sprindik dalam konteks penegakan hukum dan semangat pemberantasan korupsi? Kepolisian memang dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap dan menetapkan tersangka terkait bocornya draft sprindik ini. Akan tetapi tindakan ini tentunya akan sedikit banyaknya berpengaruh kepada proses hukum yang sedang berlangsung di KPK khususnya menyangkut peningkatan status Anas Urbaningrum dari terperiksa menjadi tersangka dalam kasus Hambalang.
Memang, secara normatif siapapun yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tak melihat apakah dia pegawai atau staf KPK atau bahkan pimpinan KPK sekalipun. Tak juga peduli sebesar apapun kesalahan hukum yang telah diperbuatnya.
Namun pada pihak lain bila bocornya draft sprindik tersebut memasuki ranah hukum pidana dengan Kepolisian sebagai penyidiknya jelas akan mempengaruhi kinerja KPK dalam menindaklanjuti kasus korupsi terkait draft sprindik tersebut. Kesan Kepolisian kembali mengobok-obok KPK tak dapat dihindari. Pada sisi lain juga menjatuhkan wibawa KPK di mata publik. Apalagi bila dilihat ancaman hukuman dari pasal 322 ayat (1) KUHP hanyalah 9 (sembilan) bulan, serta dalam ayat 2 ditegaskan bahwa pidana itu adalah delik aduan yang hanya bisa diproses berdasarkan pengaduan pihak yang merasa dirugikan langsung dari bocornya surat rahasia tersebut.
Dalam konteks demikian mungkin ada baiknya Kepolisian mengedepankan asas manfaat sebagai salah satu tujuan penegakan hukum. Jelas sudah kemungkinan besar upaya mengungkap secara hukum pembocor sprindik akan berpengaruh terhadap kerja besar KPK dalam memberantas korupsi. Maka akan lebih baik bila tindak pidana pembocoran rahasia draft sprindik ini dikesampingkan atau setidaknya ditunda dulu pengusutannya oleh Kepolisian.
Sebagai wujud kesamaan persepsi dalam menyikapi berbagai permasalahan dalam pemberantasan korusi antara sesama lembaga penegak hukum, akan lebih baik Kepolisian menunggu hasil kerja Komite Etik. Hal ini juga bisa mencegah kesan munculnya kembali salip menyalip dalam penanganan perkara. Dan tentunya kita berharap bocornya draft Sprindik tersebut memang bukan dari unsur pimpinan. Semoga.
Tulisan ini pernah dimuat di www.zpador.wordpres.com, 28/3/2013

Posting Komentar untuk "Menanti Hasil Komite Etik"