Ternyata Parpol Kita Tidaklah Demokratis
Ironis
memang, partai politik sebagai sebuah entitas yang digadang-gadang sebagai
mahkota demokrasi justru berperilaku tidak demokratis.
Tidak ada demokrasi
tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai. Begitu keyakinan Clinton
Rossiter, seorang pakar politik Amerika. Dengan kata lain tak kan ada demokrasi
tanpa adanya partai politik.
Bahkan Thomas Meyer
(2012) menyebutkan setidaknya ada sembilan tesis arti penting partai politik
dalam sebuh sistem demokrasi. Antara lain, yang mendudukkan parpol di posisi
pusat (‘political centrality’).
Menurut Meyer, posisi
pusat ini memiliki dua dimensi: Pertama,
setelah berhasil mengagregasikan berbagai kepentingan dan nilai yang ada dalam
masyarakat, parpol kemudian mentransformasikannya menjadi sebuah agenda
yang dapat dijadikan platform pemilu. Diharapkan platform tersebut mampu
menarik banyak suara dari rakyat sehingga parpol akan mendapatkan banyak kursi
di parlemen. Selanjutnya parpol harus mampu mem-pengaruhi proses politik
dalam legislasi dan impleinentasi program kebijakan publik itu.
Kedua,
Parpol adalah satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai
masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Hal ini dapat
mereka lakukan setelah mereka mendapatkan posisi yang kuat dalam parlemen
daerah maupun nasional.
Namun faktanya, sama
seperti parpol di negara-negara lain yang sedang dalam proses transisi dan
pemerintahan otoriter ke negara demokratis, kerap kali kita melihat adanya
budaya non-demokratis di dalam parpol Indonesia. Pengalaman selama masa pemilu
dan sesudahnya menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan untuk mempromosikan
demokrasi dengan menjelaskan peran dan fungsi parpol, bagaimana mereka mengatur
dirinya sendiri.
(Dr. Hans-Joachim Esderts, 2012)
Bahkan
menurut Donny WS, partai politik yang seringkali menganut garis keturunan,
sistem oligarki, kekuatan finansial, popularitas dalam sistem rekrutmen dan
kaderisasi telah menutup jalan bagi mereka yang mempunyai kompetensi namun
terhalang dengan tidak adanya modal-modal tersebut.(Donny WS, Detik.com,
28/2/2019).
Menurut
Ignas Kleden, diskripsi politik Indonesia memperlihatkan suatu inkonsistensi
politik. Kalau benar pendapat para pengamat asing bahwa demokrasi Indonesia
mengalami perkembangan positif, mengapa gerangan partai-partai politik yang
menjadi pendukung utama demokrasi tidak bisa dikatakan berada dalam
perkembangan yang positif juga?
Mengapa
demokrasi dalam sistem politik Indonesia tidak diimbangi hidupnya internal
demokrasi dalam kalangan partai politik? Mengapa stabilitas politik dalam
demokrasi Indonesia tidak diimbangi dengan stabilitas politik dalam partai
politik yang cenderung mengalami perpecahan ke dalam (internal fractioning) sebagaimana terjadi pada Golkar dan PPP saat
ini? Dalam politik nasional seorang presiden dan wakil presiden dapat dipilih
secara bebas, sementara partai-partai politik besar, seperti PDI-P atau
Demokrat, masih berdebat tentang perlu tidaknya ada calon tunggal ketua. (Ignas Kleden, Kompas, 10/4/2015).
Bila
melihat gambaran sistem pergantian pucuk pimpinan partai politik Indonesia saat
ini masih tak ubahnya dengan gaya pergantian petinggi-petinggi perusahaan milik
keluarga. Bahkan mungkin hampir mirip dengan yayasan-yayasan pendidikan milik
keluarga yang sudah dengan mudah dapat ditebak siapa yang kemudian akan
mengganti pimpinan menduduki posisi puncak.
Tak pelak
lagi kondisi ini akan tercermin juga dari bagaimana partai politik memainkan
perannya dalam berbagai ajang pilkada, pemilu legislatif bahkan pilpres
sekalipun. Bagi mereka yang berada di luar lingkaran elit parpol, mendapatkan
tiket parpol untuk maju dalam berbagai ajang pemilu tersebut adalah sesuatu
yang sepertinya mustahil. Kecuali memiliki pundi-pundi pendanaan yang tak
terbatas untuk mendanai hasrat politik tersebut.
Tetapi
bagi mereka yang berada dalam lingkaran elit parpol tertentu baik karena garis
geneologis maupun karena jaringan koncoisme bisnis yang saling menguntungkan
maka mendapatkan tiket parpol pun bukanlah sebuah perkara yang terlalu sulit.
Apalagi misalnya deal-deal politik
dan rencana strategisnya ke depan jelas dan kongkrit akan sangat menguntungkan
bagi elit parpol bersangkutan.
Saya kira
dalam konteks pilpres 2019, munculnya nama-nama di luar dugaan yang sekarang
berlaga khususnya menjadi calon wakil presiden dalam Pilpres 2019 ini
sedikitnya banyaknya mengkonfirmasi fenemena dan gambaran tentang tidak
demokratisnya partai politik maupun koalisi partai politik dalam menentukan
calon yang akan didukung dalam kontes pemilu.
Melihat realita tersebut masihkah kita berharap ada partai yang demokratis saat ini? Sepertinya pengamat politik manapun akan ragu menjawabnya dan sangat bimbang untuk memastikan keberadaan sebuah partai politik yang demokratis di Indonesia.
Melihat realita tersebut masihkah kita berharap ada partai yang demokratis saat ini? Sepertinya pengamat politik manapun akan ragu menjawabnya dan sangat bimbang untuk memastikan keberadaan sebuah partai politik yang demokratis di Indonesia.
Untuk itu saya
sepakat dengan Donny WS bahwa partai harus mengubah pola rekrutmen dan
kaderisasi dari yang sifatnya tertutup ke arah yang lebih transparan, terbuka,
dan demokratis. Memberikan beasiswa politik bagi sosok berkualitas untuk
mengikuti pemilihan DPR, walikota, bupati, atau gubernur bisa menjadi salah
satu cara bagi partai untuk memperbaiki keadaan. Isu transparansi partai
politik juga perlu disoroti, tak hanya dari sisi keuangan namun juga
kinerja.
Sebagai
penentu kehidupan berdemokrasi, selayaknya partai-partai politik mulai
menentukan arah perkembangannya. Jangan sampai partai politik hanyalah milik
sejumlah keluarga terpandang, produk dari budaya feodal dalam bentuk pewarisan
kekuasaan secara turun-temurun.
Realitasnya
memang demikian, terutama di tingkat lokal ketika partai-partai politik
dikuasai secara turun-temurun oleh segelintir orang. Dalam suasana demikian,
bagaimana bisa partai politik bisa terbuka terhadap perbedaan? Bagaimana bisa
melakukan perubahan jika dari segi perekrutan saja masih berdasarkan
nilai-nilai lama? (Jefri Geovani, 22/2/2019).
Penulis Zenwen Pador, Advokat,
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)
Mencerahkan..
BalasHapus