Etika dan Kesantunan Berpolitik
Bung Hatta, Teladan Etika Politik Indonesia (Foto : www.republika.co.id) |
Ketua DPP PAN Mumtaz
Rais, sekaligus putra mantan Ketua MPR Amien Rais, meyakini bahwa partai
politik baru yang akan dibentuk sang ayah tidak akan terwujud. "Mengapa?
Karena PAN Reformasi ini alih-alih akan terbentuk serta dideklarasikan, malah
yang ada nyungsep sebelum
tumbuh," kata Mumtaz sebagaimana dilansir Kompas.com, 1 September 2020.
Mumtaz optimistis PAN
Reformasi tak akan terbentuk karena tidak ada anggota dewan ataupun kepala
daerah yang membicarakan rencana adanya partai baru tersebut. Menurut Muntaz tidak ada tokoh baik di tingkat
pusat maupun daerah tertarik dengan ide tersebut. Karena mereka semua sibuk
bekerja, bukan seperti para pengangguran itu yang luntang-lantung berhalusinasi
mau bikin partai, tegas Mumtaz lebih
jauh.
Tidakkah Muntaz sadar
bahwa dalam kalimat terakhir yang disebutnya, termasuk di dalamnya adalah ayah
kandungnya sendiri, Amien Rais?
Kalau dengan segenap
kesadaran dia berkata seperti itu, sepertinya pemahaman bahwa politik itu kejam
menemukan bukti empirisnya. Ternyata dalam politik bukan hanya tidak ada kawan
yang abadi, orang tua pun sewaktu-waktu
bisa menjadi lawan keabadian kepentingan
(politik).
Politik
Kejam?
Selama ini dalam
praktek politik terlanjur dikenal jargon : Tidak ada kawan dan lawan yang
abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
Pertanyaannya kemudian
benarkah politik itu kejam? Kalau kita cermati makna politik sebagaimana yang
dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) justru sebaliknya. Salah satu
definisi dari kata "politik"
yang dimuat KBBI ialah cara bertindak
(dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Selain itu kata politik sebenarnya juga bermakna sebagai
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem
pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik juga berarti sebagai segala urusan
dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara
atau terhadap negara lain.
Dari
pengertian di atas sama sekali tidak ada yang negatif dari makna politik.
Tetapi kenapa selalu saja ketika kita mendengar kata politik selalu terbayang
praktek-praktek negatif.
Dalam
praktek politik Indonesia sendiri secara kasat mata dapat kita lihat bagaimana
seteru Jokowi dan Prabowo dalam kontestasi Pilpres dalam dua kali Pilpres
kemudian berakhir dengan bergabungnya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet
Pemerintahan Jokowi periode kedua ini.
Pada
bagian lain Koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo bersama Partai Gerindra
dengan para partai pendukungnya saat ini hanya menyisakan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang tetap memilih berada di luar pemerintahan dan tidak
bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat.
Walaupun
banyak yang menenggarai sikap “oposisi” tersebut lebih karena tidak tercapainya
deal politik antara Partai pendudukung Jokowi dengan PKS, termasuk dengan
Partai Demokrat yang sejak awal memilih bersikap abu-abu dalam berpihak. Kalau
deal, pasti sudah bergabung juga dalam pemerintahan Jokowi. Soalnya hanyalah
karena kepentingan yang yang belum sesuai atau belum tercapai kompromi
politiknya.
Nah,
kembali akhirnya dalam praktek politik
adalah soal kompromi kepentingan antara para aktor politik. Seteru politik
sekeras apapun bila kemudian kompromi kepentingannya cocok pastilah akan
berakhir dengan rangkulan politik dalam kabinet.
Sebagaimana
pendapat ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Harold D Lasswell. politik
adalah tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Intinya kalaulah
politik memang dimaknai sebagai seni atau cara meraih kekuasaan/kursi. Maka
dalam praktek politik yang lebih penting adalah bagaimana bagi-bagi kursi atau
potongan-potongan kue kekuasaan tersebut dapat dibagi sesuai kehendak dan
kepentingan para aktor politik dalam meja makan kekuasaan.
Henry
John Temple Palmerston, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, 1846-1851 adalah
tokoh yang mempopulerkan jargon tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam
politik.
Palmerston
menyampaikan pandangannya di hadapan parlemen Inggris dalam konteks politik
luar negeri. Menurutnya, kerajaan
Inggris harus pandai-pandai menempatkan diri dalam konstelasi politik
internasional yang penuh gejolak. Kuncinya satu: lentur. Tak ada teman dan
musuh yang abadi. Prinsip politik yang disampaikan Palmerston seolah menjadi
prinsip abadi di sepanjang hikayat politik dunia, baik dalam konteks politik
internasional maupun domestik. (Nibras Nada Nailufar, 2019).
Pentingnya
Etika
Nah, hari ini dalam
praktek politik Indonesia seorang Mumtaz Rais menunjukkan kepada kita
perkembangan dan varian terbaru dalam penerapan jargon politik tersebut dengan
pemahaman tambahan bahwa jangankan kawan, orangtua kandung pun bisa menjadi
lawan dalam berpolitik. Namun hendaknya dalam setiap lini kehidupan termasuk
aktivitas politik kesantunan dan etika haruslah tetap dikedepankan.
Apalagi kesantunan seorang
anak kepada orangtuanya. Tidak salah berbeda pandangan dan kubu politik, namun
tidak harus dengan meniadakan tata krama, kesantunan dan etika politik. (Zenwen Pador)
Posting Komentar untuk "Etika dan Kesantunan Berpolitik"