Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghambat Hakim Nakal Meringankan Hukuman Koruptor



Oleh Handra Deddy Hasan

Rabu, tanggal 20 Januari 2021 Mahkamah Agung melakukan sidang paripurna khusus. Sidang yang dilakukan di Gedung Mahkamah Agung Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat, untuk memilih salah satu Hakim Agung menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial. Setelah melalui dua kali putaran pemilihan, akhirnya Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung, Andi  Samsan Nganro terpilih.

Pengamat berharap banyak dengan terpilihnya Andi Samsan Nganro karena jabatan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial merupakan posisi strategis untuk menjaga konsistensi putusan hakim, pertimbangan putusan yang berkualitas dan pengembangan hukum.

Putusan dengan pertimbangan hukum yang berkualitas sehingga mencapai putusan yang menghadirkan keadilan masyarakat akan berdampak kepada kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Peradilan. Khusus untuk perkara korupsi akan selalu menarik perhatian masyarakat untuk mengamati dan  mempelototinya.

Akhir-akhir ini ada dugaan putusan atas perkara korupsi dianggap oleh masyarakat tidak maksimal alias koruptor dihukum dengan hukuman ringan. Apabila "trend" hukuman ringan berlanjut dan telah merupakan putusan masif dikalangan hakim tipikor, maka efek prefentif dan jera dari putusan menjadi hilang.

Hakim sebagai makhluk yang mewakili Tuhan di dunia untuk menghukum manusia mengemban tugas yang mulia, sehingga harus bebas tanpa intervensi untuk berkehendak dalam membuat putusan. Namun demikian bukan berarti bahwa Hakim berkehendak seenaknya tanpa batas. 

Untuk menjadi Hakim yang profesional harus memenuhi persyaratan yang ketat dan melalui pendidikan panjang melelahkan. Selain itu hakim dalam memutus terikat dengan Undang2 serta berpijak kepada nurani suci. Akan tetapi senyatanya masih saja ada putusan2 hakim yang tidak menunjukkan dan mewakili rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Disinilah diharapkan peranan strategis dari Wakil Ketua MA Bidang Yudisial melalui produk peraturan yang dikeluarkannya  untuk menjaga putusan hakim yang mengadopsi keadilan dengan pertimbangan hukum berkualitas. Selain itu Bidang Yudisial MA dapat memberikan kontribusi pengembangan hukum, penafsiran hukum yang lebih rinci atas aturan Undang2 yang belum jelas atau masih diwilayah abu-abu.

Peranan Bidang Yudisial MA bukan berarti untuk mengintervensi, mendelegimitasi kebebasan hakim untuk memutus suatu perkara.

Bidang Yudisial MA dengan produknya berupa peraturan2 dapat memberikan petunjuk, memudahkan, menterjemahkan lebih rinci atas aturan hukum yang masih abu2 dengan parameter yang terukur. Peraturan2 tersebut diharapkan akan membimbing hakim yang masih ragu2 dalam menyusun putusan. Juga dapat berfungsi membatasi ruang gerak "hakim nakal" untuk berkreasi mencari celah hukum untuk meringankan hukuman terdakwa korupsi.

Peranan Perma Menjaga Kualitas Putusan Hakim

Salah satu produk yang telah dikeluarkan oleh Bidang Yudisial MA adalah Peraturan Mahkamah Agung No 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perma No 1 tahun 2020).



Berdasarkan pandangan hukum berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo.UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi), ada 30 bentuk dan jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh bentuk dan jenis tindak korupsi dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok besar yaitu :
1. Kerugian Keuangan Negara.
2. Suap Menyuap.
3. Penggelapan Dalam Jabatan.
4. Pemerasan.
5. Perbuatan Curang.
6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan.
7. Gratifikasi.

Khusus tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi masuk dalam kelompok Kerugian Keuangan Negara. Mayoritas perkara yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyangkut Kelompok Kerugian Keuangan Negara. Beberapa putusan terhadap perkara yang masuk dalam kelompok keuangan negara sangat beragam. Hakim dalam menjatuhkan putusan, khususnya dalam lamanya hukuman penjara yang dijatuhkan dan hukuman denda yang diberikan sangat berbeda atas perkara2 yang identik sama.

Secara teori hal ini tidak salah karena hakim dalam mengadili perkara mempunyai pandangan independen sejauh dalam koridor hukum yang ada. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi memberikan "range" (rentang) pembatasan hukuman, sehingga putusan seorang hakim tidak harus sama dengan hakim perkara lain yang identik.

Khusus Pasal 2 UU Korupsi "range" (rentang) ancaman hukuman dari maksimal hukuman mati (dalam keadaan tertentu) atau hukuman penjara seumur hidup sampai paling ringan 4 tahun penjara.

Sedangkan Pasal 3 UU Korupsi mengatur ancaman hukuman paling berat pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 1 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Aturan ancaman hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi yang mengatur "range" hukuman yang sangat lebar sejak hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun sampai paling ringan penjara 4 tahun atau 1 tahun telah membuat putusan perkara korupsi sangat beragam. Keberagaman dan disparitas putusan hukuman korupsi di Pengadilan memang tergantung kepada bukti2 yang ditemukan dalam persidangan dan juga tergantung kepada selera Majelis Hakim yang mengadilinya.

Masyarakat merasa bahwa hakim2 tipikor dalam membuat putusan2nya sudah tidak lagi berpijak kepada nurani parameter keadilan, tapi ada kecendrungan hanya mempertimbangkan hukum formal untuk kepentingan pribadi. Akibatnya banyak putusan2 perkara korupsi walau tetap dihukum tapi dengan hukuman penjara yang ringan.
Keresahan masyarakat melihat kecendrungan hukuman ringan terhadap perkara korupsi telah direspons dengan bijak oleh Mahkamah Agung dengan Perma No 1 tahun 2020.

Jualan Pasal Korupsi

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia yudikatif Indonesia ada "mafia peradilan" yang melibatkan oknum nakal Pengacara, Jaksa dan Hakim. Tiga pondasi keadilan tersebut terkadang tidak sekedar mencari keadilan sesuai dengan UU dan etika mereka, tapi mencari keuntungan pribadi dari kasus yang sedang ditangani.

Bagi terdakwa korupsi, iming-iming janji hukuman ringan dari mafia peradilan merupakan oase yang menggiurkan untuk segera lepas dari kurungan hukuman penjara.

Jualan berupa janji membebaskan koruptor agak kurang masuk akal karena dalam kenyataannya nyaris tidak ada koruptur yang bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Akhirnya janji meringankan hukuman bagi terdakwa koruptor merupakan cara yang efektif untuk menggunakan pengacara tertentu yang merupakan bagian dari mafia peradilan.

Hal ini akan terlaksana apabila Jaksa dan Hakim juga terlibat dalam jual beli pasal.

Misalnya sejak perkara di tangan Jaksa dalam proses penuntutan telah terjadi jual beli pasal, apakah penuntutan menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Korupsi. Menggunakan penuntutan Pasal 3 UU Korupsi merupakan hal yang dibutuhkan oleh tersangka karena ancaman hukumannya lebih ringan yaitu 1 tahun penjara sedangkan kalau menggunakan Pasal 2 ancaman hukuman paling ringan 4 tahun penjara. Hal ini secara hukum sangat memungkinkan karena perbedaan unsur kedua pasal tersebut sangat tipis dan subyektif, tergantung kepada jaksa penuntut mengartikannya.

Hanya jaksa penuntut yang bisa menentukan apakah tindak pidana memakai unsur "melawan hukum" (Pasal 2) atau unsur "menyalah gunakan kewenangan" (Pasal 3).

Pergeseran penggunaan pasal dalam penuntutan agar hukuman lebih ringan tentunya tidak gratis begitu saja, ada "harga" tertentu yang harus dibayar.

Membeli Hakim Nakal

Setelah terjadi jual beli dan kesepakatan untuk menggunakan Pasal penuntutan bukan berarti proses jual beli pasal telah berakhir. Menggeser pasal penuntutan dari Pasal 2 ke Pasal 3 UU Korupsi tidak akan bermanfaat sama sekali apabila jual beli pasal tidak dilanjutkan kepada Hakim yang mengadili.

Walau penuntutan telah menggunakan Pasal 3 UU Korupsi, bisa saja Hakim tetap menjatuhkan hukuman dengan hukuman maksimal dengan penjara seumur hidup.



Kewenangan hakim untuk menentukan jenis hukuman dan lamanya hukuman penjara sesuai koridor UU yang berlaku merupakan komoditi yang layak jual.

 Range/rentang ancaman hukuman yang terkandung dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi sangat lebar, sehingga menggoda untuk diatur sesuai kehendak para terdakwa koruptor.

Modus mafia peradilan adalah melakukan pendekatan kepada hakim untuk meminta hukuman ringan yang dijatuhkan kepada terdakwa koruptor. Permintaan hukuman ringan tentunya dengan imbalan tertentu, makin ringan hukuman yang diminta makin mahal harga sebagai imbalannya.

Praktek modus mafia peradilan dalam mengatur berat ringannya putusan terdakwa koruptur, diduga telah membuat banyaknya putusan2 ringan dari perkara korupsi.

Mahkamah Agung cukup tanggap untuk menjawab keresahan masyarakat tentang ringannya putusan perkara korupsi. Untuk menjawabnya Mahkamah Agung menerbitkan Perma No 1 tahun 2020. Adanya Perma No 1 tahun 2020 diharapkan bisa mengeliminir praktek mafia peradilan dalam jual beli pasal perkara korupsi.

Parameter Terukur Dalam Membuat Pertimbangan Putusan Korupsi

Kalau sebelum adanya Perma Nomor 1 tahun 2020, hakim yang mengadili terdakwa koruptor berdasarkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Korupsi mencari bukti dan mengambil kesimpulan penilaian bukti dengan parameter pribadi masing2. Akibatnya pertimbangan putusannya terhadap terdakwa korupsi sesuai selera dan kemampuan hakim yang mengadili, sehingga putusannya jadi beragam dan terjadi disparitas dan perbedaan yang menyolok. Dengan adanya Perma No 1 tahun 2020 akan membuat kualitas putusan perkara berdasarkan  Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi akan akuntable dan mencapai standar yang terukur.

Berdasarkan Pasal 5 (1) Perma No 1 tahum 2020, ada 3 parameter yang wajib dipedomani oleh hakim dalam perkara korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi yaitu
1. Kerugian Negara.
2. Tingkat Kesalahan, dampak dan keuntungan.
3. Keadaan yang memberatkan dan yang meringankan.

Ketiga parameter tersebut merupakan pedoman bagi hakim dalam menggali pembuktian di pengadilan. Perma no 1 tahun 2020 mengatur parameter itu real dan terukur sesuai bukti2 yang ada.

Misal untuk "kerugian negara" lebih dari Rp 100 Miliar akan dikatagorikan dalam katagori jenis paling berat. Ada 4 katagori dalam penentuan kerugian negara dari paling berat, berat, sedang dan ringan yang ditentukan berdasarkan nilai kerugian negara yang terjadi.

Kemudian untuk pertimbangan "kesalahan", "dampak" dan "keuntungan" diberikan juga masing-masing, tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah dengan narasi terukur dan akuntabel (Pasal 8, 9 dan 10 Perma No 1/2020).
Misal, terdakwa yang terbukti memiliki peran yang paling signifikan dikatagorikan sebagai "kesalahan" katagori tinggi, sedangkan terdakwa yang terbukti hanya membantu dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi dikatagorikan sebagai "kesalahan" katagori rendah.

Terdakwa yang terbukti melakukan korupsi dalam skala nasional, dikatagorikan sebagai "dampak" tinggi sedangkan terdakwa yang terbukti perbuatannya mengakibatkan hasil pekerjaannya tidak sesuai spesifikasi namun barang tsb masih dapat dimanfaatkan dikatagorikan sebagai "dampak" rendah.

Contoh petunjuk narasi terukur lain adalah parameter "keuntungan". Terdakwa yang terbukti yang nilai harta benda yang dikorupsi melebihi 50 % dari kerugian negara yang timbul dikatagorikan sebagai "keuntungan" tinggi. Bagi terdakwa koruptor yang mengembalikan kerugian negara lebih dari 50% (pengembalian yg diperhitungkan hanya pengembalian sukarela yang dilakukan sebelum pengucapan putusan) akan dikatagorikan sebagai "keuntungan" katagori rendah.

Setelah hakim mengiventarisir seluruh pembuktian dengan parameter kerugian negara, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan dalam suatu tabel matriks, maka hakim akan bisa dengan pasti menentukan hukuman pidana penjara dan denda yang akan dijatuhkan. Perma No 1 tahun 2020 telah memberikan petunjuk bagan matriks atas inventarisir bukti2 parameter yang telah ditetapkan.

 Contoh terdakwa yang terbukti melakukan parameter "kerugian negara" paling berat dan parameter "kesalahan", "dampak" serta "keuntungan" yang tinggi, berdasarkan tabel dapat dihukum dipenjara 16 - 20 tahun/seumur hidup dan denda dari Rp800 juta sampai Rp 1 Miliar.

Terdakwa yang terbukti masuk dalam parameter "kerugian negara" paling ringan ditambah parameter "kesalahan", "dampak" dan "keuntungan" ringan akan dihukum dengan penjara 1- 2 tahun dan denda Rp 50 juta sampai Rp100juta (matriks hukuman yang paling ringan hanya untuk Pasal 3 UU Korupsi).

Range/rentang matriks penjatuhan pidana berdasarkan Perma No 1/2020 terbagi dari yang paling berat sampai yang paling ringan terbagi dalam 9 katagori.
Khusus untuk kerugian keuangan negara dibawah Rp50 juta, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana denda (Pasal 16 Perma no 1/2020).

Setelah hakim mendapatkan jumlah dan jenis hukuman yang sesuai dalam katagori matriks, selanjutnya hakim akan mendapat kesimpulan putusan final setelah mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan. Kriteria hal2 yang memberatkan dan meringankan diberikan narasi yang terukur oleh Perma no 1/2020. Misal terdakwa dengan pertimbangan memberatkan antara lain terdakwa merupakan residivis (pengulangan kejahatan) sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain memberi keterangan tidak berbelit2 di persidangan.

Semua inventarisir bukti-bukti dan penjelasan parameter dengan segala katagori dan matriks harus masuk dalam pertimbangan keputusan hakim yang mengadili perkara korupsi yang didasari kepada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi.

Adanya panduan bagi hakim berdasarkan Perma No 1/2020 untuk menyusun pertimbangan hukum dan menjatuhkan hukuman diharapkan akan tercipta putusan yang memenuhi standar kualitas yang transparan, akuntabel, yang akan diharapkan menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum.

Bagi hakim yang masih "mbeling" tidak mau mematuhi Perma no 1/2020 dan masih berusaha untuk mencari celah meringankan hukuman terdakwa koruptor, sudah selayaknya diberikan sanksi baik oleh Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial.

Hukuman berdasarkan eksaminasi putusan bagi hakim yang tidak patuh kepada aturan Perma No 1/2020 tidak bisa diartikan sebagai intervensi atas kemandirian hakim, karena hakim tersebut telah memutuskan perkara tanpa mempedomani hukum yang berlaku.

Perma No 1/2020 masih merupakan aturan baru bagi hakim yang mengadili perkara korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi. Apakah Perma cukup efektif untuk mengeliminir praktek mafia peradilan untuk mengurangi hukuman penjara bagi terdakwa koruptor? Hanya waktulah yang bisa menjawabnya.

***

Posting Komentar untuk "Menghambat Hakim Nakal Meringankan Hukuman Koruptor"