Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengulik Potensi Kemenangan Gugatan Uji Formil UU Cipta Kerja


Oleh Zenwen Pador

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari LSM dan perseorangan yang tergabung dalam Tim Advokasi Gugat Omnibus Law telah mendaftarkan permohonan uji formil terhadap UU No. 11 tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konsitusi. Permohonan tersebut telah diregister oleh Mahkamah Konstitusi dengan permohonan Nomor 107/PUU-XVIII/2020.

 Dalam perbaikan gugatan tertanggal 21 Desember 2020, Tim Advokasi setidaknya 5 (lima)  dalil penting terkait permasalahan dalam perencananaan, penyusunan, pembahasan sampai pengundangan UU No. 11 tahun 2020. Permasalahan tersebut antara lain menyangkut : 1) Tidak tersedianya naskah akademik sebelum RUU disusun; 2) proses yang tidak terbuka (transparan); 3) Tidak dilibatkannya masyarakat sipil; 4) Ketidakjelasan rumusan, dan 5) Banyaknya  versi dan perubahan setelah paripurna persetujuan DPR.

 Bagaimanakah potensi dalil-dalil keberatan tersebut dapat dibuktikan dan menjadi dasar kemenangan masyarakat sipil atas gugatan uji formil UU Cipta Kerja ini?

 Uji Formil UU

Pasal 22A UUD 1945 telah menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.Berdasarkan Pasal tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

 Berdasarkan Pasal 51A ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

 Dengan demikian berbeda dengan uji materil sebuah UU yang langsung dengan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 maka uji formil menggunakan peraturan perundangan tekait penyusunan peraturan perundang-undangan.  Hal ini juga telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.

 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja

Tidak tersedianya Naskah  Akademik sebelum Rancangan UU dibuat diyakini Tim Advokasi dari fakta bahwa pada saat Pemerintah menyampaikan draft RUU Cipta Kerja kepada DPR untuk dibahas pada tangganl 7 Februari 2020 belum disertai dengan Naskah Akademik. Barulah pada tanggal 10 Februari 2020 RUU tersebut dilengkapi dengan Naskah Akademik.

Padahal Pasal 43 ayat (3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan RUU  yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Selain itu Pasal 163 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menegaskan juga hal yang sama kecuali rancangan beberapa UU khussus seperti APBN, misalnya.


 

Namun pertanyaannya  kemudian kapan seharusnya Naskah Akademik itu ada,  sebelum penyusunan rancanga UU atau bisa disusulkan kemudian setelah RUU dibuat?

Bila kita cermati pasal 1 butir 11 UU no. 12 tahun 2011 menegaskan bahwa Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat  dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa Naskah Akademik berangkat dari permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat yang dikaji secara mendalam sehingga didapatkan suatu kesimpulan beberapa alternatif penyelesaian masalah hukum tersebut dengan penyusunan peraturan perundang-undangan. Dari logika tersebut jelas bahwa seharusnya Naskah Akademik sudah tersedia sebelum rancangan pasal per pasal UU dibuat. Dalam kata lain naskah akademik menjadi dasar bagi penyusunan rancangan peraturan dimaksud.

Begitulah pemahaman idealnya. Namun bagaimana faktanya yang sebenarnya memang harus dibuktikan apakah benar Naskah Akademik yang kemudian dikirimkan Pemerintah kepada DPR dibuat belakangan setelah rancangan UU jadi. Faktanya secara formal Naskah Akademiknya sudah tersedia ketika pembahasan dengan DPR dilakukan. Tentu kembali kepada sikap dari Mahkamah Konstitusi nanti menilai apakah benar telah terjadi kesalahan dalam prosedur penyusunan dimana Pemerintah langsung membuat rancangan UU tanpa membuat dulu kajian ilmiah yang kemudian dituangkan dalam naskah akademik. Apakah salah secara formal bila Pemerintah merumuskan dulu kebutuhan hukumnya yang langsung dituangkan dalam draft pasal per pasal setelah itu baru membuatkan argumentasi tentangg penting dan urgennya pasal tersebutt dibuat,  dimana rancangan pasal tersebut bisa saja merupakan sebuah pasal baru atau perubahan dari pasal-pasal sebelumnya yang telah diatur dalam berbagai UU yang menjadi ruang lingkup UU Cipta Kerja.

Nah, hal  ini baru satu hal saja dari alasan Para Pemohon yang harus dibuktikan dalam persidangan dan atas pembuktian tersebut sangat bergantung juga kepada keyakinan Majelis Hakim Konstitusi.

Transparansi dan Pelibatan Masyarakat

Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  Masukan dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar dan berbagi event lainnya. Masyarakat yang dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

Untuk itu agar memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

 

Berdasarkan pasal tersebut menurut Tim Advokasi dalam gugatannya mendalilkan seharusnya  sejak awal rancangan UU Cipta Kerja sudah dipublikasikan sejak dimulainya pembahasan dalam Prolegnas dan diperdebatkan secara luas untuk menyerap aspirasi publik. Realitasnya Undang-Undang Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draft Rancangan Undang-Undang yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.

Faktanya lagi,  pemohon sama sekali tidak pernah  mendapat penjelasan mengenai isi dari RUU Cipta Kerja apalagi  diberikan kesempatan memberikan pendapat-pendapat maupun masukan-masukan, terutama dalam klaster-klaster yang memberikan dampak bagi Pemohon antara lain klaster Kelautan, Perikanan, Perkebunan, Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Kehutanan, Perlindungan Lahan PertanianPangan Berkelanjutan, Ketenagakerjaan,  Sumber daya air dan lain-lain.

Proses perumusan UU Cipta Kerja sejak dimulai dengan ditetapkannya Keputusan Menko Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 Tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah Dan Kadin Untuk Konsultasi Publik Omnibus Law serta kemudian Keputusan Menko Perekonomian Nomor 121 Tahun 2020 Tentang Tim Koordinasi Pembahasan Dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja, dimana dalam keputusan tersebut, tidak disebut ada satupun perwakilan dari Para Pemohon, namun yang ada hanyalah kelompok pengusaha dan kelompok pemerintah.

 

Tindakan ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Persoalannya kemudian barangkali benar para pemohon tidak dilibatkan dalam tahap penyusunan draft awal di Pemerintah, namun bisa saja nanti Pemerintah mengajukan bukti bahwa ada pihak-pihak berkepentingan lainnya selain para pemohon yang telah dilibatkan Pemerintah dalam tahap awal penyusunan.

Selain itu Pemerintah dan DPR bisa juga mendalilkan dan membuktikan kalaupun benar dalam tahap awal penyusunan para pemohon dan kelompok masyarakat sipil lainnya tidak dilibatkan tetapi dalam pembahasan di DPR semua perwakilan elemen masyarakat yang berkepentingan sudah diundang dan dilibatkan.

Maka berkaca juga pada perkara sebelumnya dalil ini rentan sekali untuk dimentahkan dan ditolak oleh Majelis Hakim MK. Persoalan awalnya karena para pemohon berangkat dari argumen tidak dilibatkannya para pemohon bukan masyarakat secara umum dalam proses penyusunan awal di Pemerintah maupun pada tahap pembahasan di DPR dan seterusnya.

Ketidakjelasan Rumusan

Menyangkut ketidakjelasan rumusan secara formal akan akan sangat mudah dibuktikan dalam persidangan. Apalagi bila dibantu dengan menghadirkan ahli bahasa dan ahli terkait bidang yang diatur dalam pasal-pasal yang dinilai tidak jelas rumusannya.

Namun ketidakjelasan rumusan ini bisa saja hanya sekedar kesalahan ketik atau penulisan belaka yang bila dipahami secara menyeluruh pasal-pasal dimaksud barangkali bisa dipahami maksud yang sebenarnya dari pasal-pasal dimaksud.



Sebagai contoh pasal 6 UUCipta Kerja yang menyebutkan pasal 5 ayat (1). Padahal jelas pasal 5 tersebut tidak dibagi dalam beberapa ayat. Maka bisa dipahami pada pasal 6 hanya terjadi kesalahan ketik atau penulisan yang seharusnya ditulis pasal 5 saja.

Namun lebih daripada itu ketidak jelasan beberapa ayat atau pasal dalam UU Cipta Kerja tidak otomatis berpengaruh juga kepada pada pasal-pasal atau bagian lain apalagi terhadap keseluruhan UU. Kalaulah benar terbukti ada ketidakjelasan rumusan ayat atau pasal tertentu maka Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan ayat atau pasal tersebut tidak berlaku atau tidak memililiki kekuatan hukum karena rumusannya tidak jelas dan menimbulkan multi tafsir sehingga melanggar kepastian dalam penerapannya.

Adalah Penyelundupan Materi?

Alasan lain yang dijadikan dasar oleh Tim Advokasi untuk menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil adalah terdapatnya banyak  versi RUU, dimana terjadi perbedaan subtansi antar versi setelah paripurna persetujuan DPR.

Pasal 72 UU No. 12 tahun 2011  menegaskan bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.  Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Selanjutnya Pasal 73 UU yang sama mengatur RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Mengacu kepada pasal 72 di atas dapat disimpulkan bahwa Rancangan final setelah paripurna adalah rancangan yang dikirmkan ke Presiden untuk diundangkan dalam lembaran negara. Dari rancangan yang disetujui DPR dalam paripurna menuju ke rancangan yang dikirim ke Presiden bisa saja berbeda karena adanya perbaikan redaksional hingga jumlah halaman bisa juga terpengaruh. Kita tahu rancangan yang disetujui dalam paripurna terdiri  dari 905 halaman, sedangkan yang dikirim DPR ke Presiden terdiri dari 1035 halaman. Pada akhirnya sebagaimana kita ketahui RUU yang kemudian diundangkan dalam lembaran negara menjadi 1187 halaman.

Namun pertanyaannya kemudian apakah setelah dikirimkan ke Presiden sebuah rancangan UU masih dimungkinkan terjadi perubahan format atau redaksional serta  perubahan perubahan subtansi ayat dan pasal?

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie sepanjang materi muatan, Naskah UU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama dalam sidang paripurna seharusnya sudah final. Setelah itu, mutlak tidak boleh lagi ada perubahan substansi (materi muatan) karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945,  RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.

Terkait banyaknya versi RUU Cipta Kerja menurut Prof. Mahfud yang agak serius  yang harus dijawab DPR itu sesudah palu diketok itu, apa benar sudah berubah atau hanya soal teknis, Menurut Mahfud, untuk memastikan isi UU Ciptaker tersebut tak berubah bisa dicocokan antara dokumen dalam Rapat Paripurna dengan naskah yang telah diserahkan ke Jokowi. jika benar diubah setelah disahkan, UU tersebut cacat formal. Pendapat ini juga dikutip Para Pemohon dalam permohonannya.

Dari pendapat kedua pakar hukum tata negara tersebut dapat disimpulkan bahwa substansi tidak boleh berubah sesuai rancangan yang disetujui dalam paripurna DPR. Namun redaksi, format penulisan, jenis huruf  bisa saja berubah sesuai ketentuan. Dengan demikian perubahan jumlah halaman juga bisa dimungkinkan dari sejak diparipurnakan sampai diundangkan dalam lembaran negara.

Persoalannya kemudian dari keterangan dan fakta yang terungkap ke publik dalam pembahasan rapat paripurna persetujuan ternyata seluruh anggota DPR yang hadir menyetujui tidak satupun yang kabarnya memegang rancangan final UU dimaksud. Kalau benar bisa dibuktikan dalam persidangan fakta ini artinya tidak jelas memang rancangan UU mana yang telah disetujui DPR dan Pemerintah dalam Rapat Paripurna.

Kalaulah DPR dan Pemerintah berdalih bahwa yang disetujui dalam paripurna adalah rancangan yang telah disetujui dalam pembahasan akhir tahap pertama di Panitia Kerja Badan Legislatif, pertanyaannya kemudian sudah adakah final rancangan yang disetujui dalam pengambilan keputusan tahap pertama tersebut?

Namun yang paling penting dicermati menurut saya adalah apakah ada penyelundupan materi sejak RUU tersebut disetujui dalam pengambilan keputusan tahap pertama, kemudian disetujui pada tahap kedua dalam paripurna lalu dikirimkan ke Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara.

Jawabannya akan sangat bergantung kepada keterangan dan bantahan yang disampaikan DPR dan Pemerintah dalam sidang pembuktian di Mahkamah Konstitusi nanti. Bila saja DPR menyatakan dan membuktikan dengan berbagai berita acara dan dokumen rancangan yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh materi yang sekarang dimuat dalam UU No. 11 tahun 2020 sebagaimana yang telah diundangkan dalam lembaran negara adalah benar adalah materi yang telah disetujui dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah maka selesai sudah perdebatannya. Artinya perbedaan materi atau substansi yang muncul ke publik dan menjadi kehebohan selama ini lebih hanya karena kesalahan teknis belaka sebagaimana dimaksud Prof. Mahfud MD. di atas.

Kecuali kalau nantinya para pemohon dapat membuktikan adanya penyelundupan materi berupa ayat  atau pasal atau kata-kata yang mengubah makna norma sebagaimana yang telah disepakati antara DPR dan Pemerintah barulah dalil ini dapat diakomodasi oleh Majelis Hakim Konstitusi.  Namun apakah fakta itu akan membuat UU Cipta Kerja cacat secara keseluruhan tentu saja tidak,  tentu hanya materi yang terbukti sebagai materi selundupan yang dapat dibatalkan Mahkamah  dalam putusannya.

Merusak Proses Legislasi yang Demokratif

Tak dapat dipungkiri pendekatan Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan akan sangat efektif dalam menjawab kebutuhan akan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Namun dibalik itu tentu juga ada ancaman bahaya dalam penerapan metode Omnibus Law ini.

Menurut Prof. Jimly Asshidiqie setidaknya ada 3 (tiga) bahaya yang mengancam dalam penerapan Omnibus Law. Pertama, dari segi materi yang dibahas berkembang menjadi semakin tebal dan mengakibatkan pembahasan menjadi tidak mendalam. Kedua, sementara waktu pembahasan sangat terbatas  dan dibatasi menurut tahap-tahap yang sudah ditentukan.

Ketiga, keterlibatan masyarakat menjadi sangat terhambat baik dari segi formal maupun dari segi substansial .

Karena itu banyak yang menilai bahwa pendekatan Omnibus Law merusak proses legislasi yang demokratif di parlemen, seperti dikatakan oleh C.E.S Frank  dalam “Omnibus Bills subverb our legislatif procces” (Jimly Asshiddiqie, 2020).

Maka terlepas dari analisis di atas lebih daripada itu tentunya  kita berharap ada progresifitas baru di kalangan para hakim Mahkamah Konstitusi dalam menilai, memahami dan mengambil sikap yang pada akhirnya akan merjadi putusan kolektif  Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan uji formil  UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini. Semoga aspirasi dan keberatan para pemohon sebagai representasi masyarakat sipil dapat terakomodasi dengan baik dalam putusan nantinya tanpa juga harus menegasikan niat baik Pemerintah untuk mensejaterahkan rakyat.  Semoga.

___________________

Penulis adalah Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)

 

Bahan Bacaan :

Asshiddiqie, Jimly, Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, Konpress, 2020

Bertambah lagi, 15 ormas ajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, https://nasional.kontan.co.id/news/bertambah-lagi-15-ormas-ajukan-uji-formil-uu-cipta-kerja-ke-mahkamah-konstitusi

Dokumen Permohonan Uji Formil UU No. 11 tahun 2020 yang diajukan oleh Tim Advokasi Gugat Omnibus Law tertanggal 21 Desember 2020,  https://www.mkri.id/public/filesimpp/berkasReg_3204_Perbaikan%20Permohonan%20Perkara%20Nomor%20107%20PUU%20XVIII%202020.pdf

Posting Komentar untuk "Mengulik Potensi Kemenangan Gugatan Uji Formil UU Cipta Kerja"