Memahami Oposisi dari Gerungan Rocky dan Celotehan Fahri
Oleh Zenwen Pador
Rocky Gerung
dalam sebuah percakapan dengan Hersubeno Arief dalam akun youtubenya dengan lantang mengatakan posisi Habib Rizieq
sebagai oposisi harus dihormati. Sementara itu Fahri Hamzah dalam sebuah cuitan di akun twitter menyatakan kekecewaannya atas
sikap Prabowo saat ini.
Harusnya Prabowo bisa rangkul oposisi,” kata Fahri, dan saya bisa membayangkan suara lantang dan berat mantan vokalis Indonesia Lawyer Club (ILC) ini kalau dia manggung diundang datuk Karni Ilyas.
Saya tertarik
membahas bagaimana pemahaman oposisi dari perspektif kedua figur ini. Sosok
pertama, Rocky menurut saya mewakili figur orang yang hobinya senantiasa berada
di luar sistem. Dia sangat suka mengkritisi rezim sambil keseringan melontarkan
kata “dungu” tidak hanya kepada pihak yang dikritiknya tetapi juga kepada
siapapun yang tidak sependapat dengannya. Cukup fenomemal bukan.
Sedangkan orang
kedua, menurut saya mewakili figur yang sepertinya lebih senang berkiprah dalam
sistem pemerintahan yang ada sekalipun selalu menyebut dirinya sebagai oposisi.
Dia adalah mantan wakil ketua DPR, sekalipun partainya kemudian memecatnya
sebagai anggota Fahri cukup sukses mempertahankan jabatannya sambil menyerang
balik ke partai yang pernah membesarkannya. Sekarang sekalipun murni tak lagi
menjadi anggota PKS dan tentunya tak lagi menjadi anggota DPR tampaknya dia
ingin come back ke Senayan dengan
mendirikan partai baru yang namanya hampir
mirip dengan karakter pribadinya “Gelora” dan sekaligus mendapuk dirinya sebagai
ketua umum partai.
Nah bagaimana
kedua sosok fenomenal ini memahami makna dan kedudukan oposisi? Mari simak
uraian berikut.
Fahri Hamzah
"Kekecewaan
pertama saya titipkan kepada Pak Prabowo yang tidak tampak menggunakan celah
yang ada untuk mendamaikan keadaan. Padahal, beliau adalah jantung kekuatan
oposisi. Harusnya sebagai pejabat polkam beliau bisa mengajak pemerintah
merangkul oposisi bukan memusuhinya," kataFahri Hamzah. Ini adalah lanjutan cuitan Fahri tadi yang salah satunya diberitakan
Sindonews.com .
Coba kita dalami
apa yang dimaksud Fahri dengan kalimat “padahal, beliau adalah jantung kekuatan
oposisi.” Beliau disini pasti kan maksudnya Prabowo Subianto yang sekarang
menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam Pemerintahan Joko Widodo. Bagaimana
tidak menarik kalimat ini. Prabowo yang sudah menjadi pembantu presiden sebagai
menteri masih dibilang Fahri sebagai jantung oposisi.
Kalaulah kalimat
ini dilontarkan pada periode pertama rezim Jokowi mungkin dapat dipahami dan
pastilah semua kita bersepakat. Tapi kalau sekarang Prabowo masih dibilang
sebagai oposisi bahkan disebut jantungnya oposisi apa nggak mabok kita
mendengarnya. Apa mungkin maksudnya saat
ini Prabowo adalah oposisi yang diselundupkan dalam pemerintahan Jokowi. Tapi
sekali lagi kalau lah disebut sebagai jantung oposisi apakah mungkin bisa diselundupkan.
Kalau jantung pisang mungkin dengan mudah dibegitukan.
Selanjutnya mari
kita cermati kalimat berikutnya : “Harusnya sebagai pejabat polkam beliau bisa
mengajak pemerintah merangkul oposisi bukan memusuhinya”. Lha tadi katanya jantung oposisi sekarang pejabat polkam. Terus
maksudnya oposisi mana lagi yang harusnya dirangkul. Masa jantung oposisi
merangkul oposisi. Logikanya oposisi pastinya tak perlu lagi dirangkul karena
sudah pasti setiap oposisi akan bekerja sesuai detak jantung oposisi yang dia
miliki. Bukankah jantung oposisi itu adalah Prabowo sendiri menurut Fahri?
Saya sampai saat
ini masih menduga-duga apakah yang dimaksud Fahri oposisi yang harus dirangkul
itu adalah orang seperti Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan dan beberapa
pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang saat ini sedng
berurusan dengan langkah penegakan hukum dilakukan Kepolisian.
Kalau mencermati
kata terakhir dari kalimat tadi yaitu : “bukan memusuhinya” sepertinya pas dengan pemahaman tadi bahwa
orang-orang tersebut adalah musuh Pemerintah sehingga sekarang ditahan.
Kesimpulannya menurut Fahri orang-orang yag sekarang ditahan itu adalah oposisi
yang sedang dimusuhi Pemerintah bahkan sekaligus oleh Prabowo sekalipun dalam
kapasitas selaku jabatannya yang pejabat Politik dan Keamanan (Polkam) dalam
versi Fahri Hamzah.
Kalau kita
klarifikasi ini kepada Menko Polhukam Mahfud MD misalnya pastilah jawabannya
berbeda jauh. Jangan-jangan Mahfud
bilang Fahri sedang ngelindur. Dengan
enteng Mahfud akan sebut bahwa orang-orang tersebut diduga melanggar hukum dan
Pemerintah melalui Kepolisian sekedar menjalankan tugasnya melakukan penegakan
hukum sesuai UU. Tujuan penegakan hukum tersebut pada akhirnya adalah untuk
melindungi kepentingan masyarakat banyak. Jelas bukan karena memusuhi dalam
posisi mereka sebagai “oposisi”. Lagian oposisi itu menurut Fahri, bagi Menko
Polhukam mereka adalah Tersangka pelanggar hukum. Mari kita hormati proses
penegakan hukum.
Mungkin banyak
orang akan sepakat dengan pendapat
Mahfud, sekalipun tak sedikit juga yang setuju dengan pemahaman Fahri :
Rezim sedang memusuhi oposisi. Saya sendiri sebagai orang yang cukup banyak
berkecimpung dalam penegakan hukum dalam posisi saya sebagai pengacara lebih
cenderung setuju dengan omongan Mahfud MD. Ya terserah pembaca
kalau mendukung pemahaman Fahri.
Tapi yang jelas
saya lebih tak sependapat lagi dengan Fahri bila mencermati omongan yang lain
dalam cuitan tersebut yang mengatakan kekecewaan Fahri atas tidak adanya
inisiatif untuk menghentikan perseteruan politik dari Prabowo.
Soalnya bukan
pada tidakk adanya inisiatif menghentikan... tetapi lebih kepada pemahaman
tentang adanya perseteruan politik. Perseteruan politik yang mana yang dimaksud
Fahri Hamzah?
Dalam skala
politik nasional sejak Pilpres 2014 memang kubu Prabowo berseteru secara
politik dengan kubu Jokowi. Pada Pilpres 2019, kubu Prabowo disebut sebagai
kubu 02 karena mendapat nomor urut 2 dalam pencoblosan Pilpres sedangkan Jokowi
disebut kubu 01. Namun yang lebih populer di antara pendukung adalah kubu
Prabowo disebut kelompok Kampret dan pendukung Jokowi disebut sebagai kelompok
Cebong.
Hingga sekarang
Rocky Gerung bilang Kabinet Pemerintahan Jokowi periode kedua ini adalah
Kabinet “Mencekam”, kependekan dari Kabinet Cebong dan Kampret. Kabinet ini
ditandai dengan bergabungnya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif dalam Pemerintahan Jokowi setelah Prabowo bergabung setahun
yang lalu sebagai Menteri Pertahanan.
Nah, dengan bergabungnya kedua petinggi 02 dan elit kelompok Kampret ini apa masih mungkin disebut masih ada perseteruan politik?
Rocky Gerung
Mencermati
celotehan Rocky Gerung dalam akun youtubenya di atas, jelas dia yakin bahwa
orang seperti Rizieq Shihab adalah oposisi. Clear
bagi saya pemahaman akan wujud dan tindak tanduk oposisi dalam benak Rocky
Gerung. Selain itu dia juga menyebut nama Rizal Ramli dan Fadli Zon sebagai
sosok-sosok oposisi lainnya.
Kembali ke
pendapat Rocky Gerung bahwa orang seperti Rizieq Shihab dan Rizal Ramli dan
juga tentunya termasuk dia sendiri beserta pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) seperti Amien Rais, Said Didu, Refli Harun dan rekan adalah
barisan oposisi.
Dalam sebuah
Focus Grup Discusion (FGD) yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN) pada saat
Amien Rais masih menjadi sentral partai berlambang matahari tersebut Rocky Gerung menjabarkan pemahamannya tentang
oposisi. Rocky menilai bahwa peran
oposisi tetap dibutuhkan dalam kehidupan berdemokrasi. Rocky menyebut bahwa
kehadiran oposisi merupakan kelaziman.
"Oposisi
adalah sunatullah (hal alamiah) dalam segala hal, karena dengan itu dinamika
hidup dan politik berlanjut," ujar Rocky Gerung dalam acara yang bertajuk
" Oposisi Tugas Suci Amanat Rakyat 2019" di Padepokan Pencak Silat,
TMII, Jakarta Timur, Jumat (2/8/2019). Rocky menilai, oposisi menjadi hal yang
dipermasalahkan di masyarakat. Ada yang menuntut pendefinisian ulang mengenai
oposisi, dan itu dinilai Rocky sebagai hal yang tidak masuk akal.
Rocky
menilai bahwa oposisi dianggap sebagian orang sebagai kata yang tercemar.
Menurut dia, hal ini juga dialami oleh PAN. Dengan demikian, Rocky berharap
kader PAN bisa menjelaskan kepada masyarakat jika pada akhirnya mereka memilih
jadi oposisi. "Jadi melekat dalam alam pikiran bahwa partai ini diucapkan
dengan dalil oposisi," kata Rocky. Oleh karena itu, menurut dia, siapa pun
dapat beroposisi dengan kehendaknya masing-masing.
Sebab,
jika pemerintah menganggap mereka harus didukung sepenuhnya, maka hal tersebut
adalah sesuatu yang tidak benar. "Oposisi intinya kritik. Kritik
menunjukkan konsekuensi, bukan solusi. Jangan pekerjaan pemerintah tapi diminta
solusinya ke masyarakat. Kritik itu
tidak harus didampingi dengan solusi," ujar Rocky.
Nah, tegaskan? Dalam perspektif Rocky inti dari sikap oposisi adalah kritik. Kritik tidak harus didampingi solusi. Maka dapat dipahami kenapa Jokowi dan pemerintahan selalu terlihat dungu di mata Rocky karena begitulah dia memaknai tugas mulianya sebagai oposisi freelance.
Namun
ketika ditanya bagaimana agar Pemerintah tidak dibilang dungu, Rocky dengan
enteng akan menjawab ya itu tugas Pemerintah jangan tanya ke saya. Lalu kapan
tindakan Pemerintah ada benarnya di mata Rocky. Ya, suka-suka gue lah. Barangkali
begitu jawaban sang “filosuf” yang pernah diangkat sebagai profesor honoris
causa oleh datuk Karni Ilyas pada saat yang bersangkutan menjadi langganan
tetap pembicara dimana sepertinya Rocky selau disetting agar ribut dengan
pembicara lainnya. Kalau nggak ribut pembicara lain dan penonton sudah tertidur
karena acara kelewat malam sebab durasi iklan ternyata lebih besar porsinya
dari diskusinya sendiri.
Sayangnya
apa yang dikhotbahkan Rocky tentang oposisi dalam FGD tersebut sama sekali tak
diamalkan dengan benar oleh PAN. Malah realitas politik yang terjadi kemudian
Amien Rais sang oposan sejati harus terdepak dari PAN dan terpaksa merangkak
kembali bikin partai baru yang sekarang kabarnya diberi nama Ummat. Padahal
seharusnya nama yang cocok adalah Partai Oposisi.
Sekarang
kita tahu posisi PAN lebih memilih masuk dalam koalisi Pemerintahan
Jokowi. Hal ini sesuai dengan ucapan
Sekjen PAN Eddy Soeparno yang pernah menegaskan bahwa partai berlambang
matahari itu tidak punya rekam jejak sebagai oposisi. "PAN itu enggak
memiliki DNA menjadi oposisi," ujar Eddy sebagaimana dilansir Kompas.com, 24 Juni 2019.
Rupanya DNA
Oposisi tersebut masih berada pada Rocky Gerung, hanya sempat dilontarkannya
tetapi tak sepenuhnya diterima oleh PAN. Serta mungkin juga DNA oposisi yag
dimaksud Soeparno tadi teryata masih melekat pada Amien Rais seorang. Dan
sekarang Amien sudah dengan partainya yang baru Partai Ummat.
Siapakah Oposisi yang sebenarnya?
Siapakah oposisi
yang sebenarnya dan apakah benar ada sosok oposisi di Indonesia saat ini?
Sebenarnya
Fahri Hamzah pernah juga menyatakan pendapatnya tentang pengertian oposisi.
Fahri menilai banyak pihak yang tidak
memahami konsep oposisi dalam sistem presidensial Indonesia. Menurut Fahri,
ketidakpahaman pada konsep oposisi itu membuat sikap politik partai politik
menjadi membingungkan dan terkesan "tarik ulur" tiap awal
pemerintahan.
Ia
menegaskan bahwa dalam sistem presidensial tidak ada oposisi, karena yang
menjadi oposisi adalah parlemen. Begitu
saat itu Fahri meyakini.
Fahri
mengatakan, dalam sistem presidensial rakyat memilih eksekutif untuk
menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan, rakyat memilih legislatif untuk
mengontrol dan mengawasi kegiatan pemerintah. Ia menjelaskan, dalam sistem
presidensial pihak oposisi dipegang oleh legislatif sesuai dengan janji mereka
saat dipilih oleh rakyat.
Maka
di dalam presidensialisme itu tidak ada oposisi. tetapi dalam presidensialisme
itu otomatis legislatif itu menjadi oposisi," Tegas Fahri lagi. (Kompas.com, 5 Juli 2019).
Sekilas ocehan Fahri di atas senada dengan pendapat Pakar Hukum Tata
Negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda yang mengatakan
sistem politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial tidak mengenal
oposisi. Namun dalam praktiknya, partai politik pengusung pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang belum terpilih memilih
berada di luar pemerintahan dan menjadi penyeimbang pemerintah.
Prof Juanda
pun berpandangan sebaiknya tetap ada partai politik di luar pemerintahan
agar fungsi checks and balance terhadap pemerintah tetap
berjalan. "Partai politik di luar pemerintahan berfungsi sebagai
pengontrol dan penyeimbang pemerintahan, sehingga kinerja pemerintahan berjalan
baik," kata Prof Juanda sebagaimana ditulis Republika.co.id.
Baik Fahri
maupun Prof.Juanda sepakat bahwa oposisi itu sekalipun dalam sistem Presidensial
sebagaimana dianut Indonesia berada di Parlemen (DPR), namun bedanya bagi Fahri
semua anggota parlemen harusnya menjadii oposisi sedangkan bagi Prof Juanda
hanya partai politik yang berada di luar Pemerintahan yang tentuya menjadi
oposisi.
Namun sepertinya
pendapat Fahri itulah yang senantiasa dipraktekkan oleh Fadli Zon di Senayan. Sekalipun
sekarang Prabowo Subianto sebagai representasi utama Partai Gerindra sekarang
sudah bergabung sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi, tetap saja
Fadli menjaga sikap oposannya.
Faktanya Fadli
Zon yang merupakan politisi Partai Gerindra tetap memainkan posisi sebagai
oposisi yang senantiasa “kritis” terhadap setiap kebijakan Pemerintahan Jokowi.
Bahkan mungkin kelewat kritis sehingga mendekati nyinyir.
Nah, saya hanya
mendikusikan silahkan pembaca menyimpulkan. Kita rehat agak panjang.
Mudah-mudahan tahun depan bisa kita sambung diskusi ini.
Posting Komentar untuk "Memahami Oposisi dari Gerungan Rocky dan Celotehan Fahri "