Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menimbang Wadah Tunggal Organisasi Advokat


Maka untuk mengembalikan kemuliaan profesi dan organisasi advokat, para elit dan petinggi advokat harus segera mengambil langkah bersama untuk keluar dari gambaran kondisi muram advokat dan organisasi advokat saat ini yang penuh dengan konflik, pribadi maupun kelembagaan. Hapus kesan mengejar posisi dan jabatan sesama elit advokat

Oleh Zenwen Pador

Hotman Paris Hutapea  menyebut soal SK kepengurusan Otto Hasibuan menjadi salah satu alasan dia keluar dari Peradi. Menurutnya, Peradi pimpinan Otto tidak aman karena tidak memiliki SK Menkumham.

Begitu pernyataan Hotman dalam sebuah konferensi pers yang diadakan Dewan Pengacara Nasional (DPN) Indonesia yang disiarkan channel youtube Kompas TV beberapa waktu lalu. Konferensi pers itu sekaligus mengumumkan bergabungnya Hotman ke DPN Indonesia selepas keluar dari Peradi pimpinan Otto Hasibuan.

DPN Indonesia juga mengumumkan sebagai Organisasi Advokat (OA) yang resmi dan sah yang telah memiliki SK Menkumham.

Tak lama kemudian Otto Hasibuan digugat salah seorang anggotanya ke PN Jakarta Barat. Inti  gugatan  menyoal Otto yang masih mengaku-ngaku sebagai Ketua Umum Peradi pasca keluarnya SK Dirjen AHU yang mensahkan perubahan anggaran dasar dan pengurus Peradi versi Luhut Pangaribuan.

Pertanyaannya kemudian apakah wajib OA memiliki SK  Mennkumham untuk mensahkan badan hukum organisasi dan kepengurusannya? Bagaimana idealnya pengaturan tentang OA kedepan, tetap singlebar atau multibar?

Organisasi Advokat menurut UU Advokat

Pasal 1 poin 4 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat menegaskan yang dimaksud dengan OA adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.

Kalau mengacu kepada pasal 28 ayat (1) UU Advokat jelas terlihat bahwa organisasi advokat yang diamanatkan UU Advokat adalah organisasi tunggal (single bar). Organisasi tunggal tersebut menurut pasal 32 ayat (3) sementara wewenangnya dijalankan bersama oleh 8 (delapan) organisasi advokat yang ada. Kemudian dalam ayat selanjutnya ditegaskan dalam waktu 2 (dua) tahun setelah berlakunya UU ini OA sudah terbentuk.

Dalam perjalanannya delapan organisasi advokat bekerja sementara waktu dengan nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) untuk membentuk OA menurut UU Advokat yang diundangkan pada tanggal 5 April 2003. Organisasi Advokat sebagai wadah tunggal tersebut paling lambat terbentuk 4 April 2005. Pada 21 Desember 2004, KKAI telah mendeklarasikan terbentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia yang dikukuhkan dalam sebuah Akta Pendirian.

Sayangnya deklarasi tersebut diiringi oleh benih konflik yang muncul dengan isu terkait mekanisme dan keabsahan kepengurusan dengan Ketua Umum Otto Hasibuan karena pemilihan disebut tidak dilakukan dalam Kongres Advokat sebagaimana diamanatkan akta pendirian Peradi. Kritik keras terutama muncul dari kelompok Indra Sahnun Lubis yang sebelumnya juga adalah Ketua IPHI, salah satu organisasi pendiri Peradi.

Indra kemudian keluar dari Peradi dan mendirikan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Pernah ada kesepakatan damai antara Otto dengan Indra di hadapan beberapa instansi penegak hukum terkait, namun bekakangan Indra tak mengakui kesepakatan tersebut. Hingga tetap organisasi advokat tidak lagi tunggal, selain Peradi juga ada KAI yang dipimpin oleh Indra Sahnun Lubis. Posisi KAI sepertinya nampak semakin kokoh dengan bergabungnya Adnan Buyung Nasution sebagai Dewan Kehormatan KAI, sebagaimana disebutkan juga dalam SK Menkumham tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan KAI.

Namun sekalipun telah memiliki SK Menkumham, sampai tahun 2015 sebelum keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015 KAI belum bisa mengambil sumpah Advokat yang telah diangkatnya karena sebelumnya MA telah menerbitkan SKMA  Nomor 089 tahun 2010 yang ditujukan ke seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk hanya mengambil sumpah Calon Advokat yang diusulkan oleh Peradi. Sekalipun Peradi ketika itu tidak memiliki SK Menkumham pengesahan sebagaimana yang telah dimiliki KAI.  Dengan SKMA tahun 2015 di atas barulah Advokat KAI bisa beracara setelah diizinkannya pengambilan sumpah oleh Pengadilan Tinggi dari semua organisasi advokat.  

Singel Bar VS Multi Bar

Dalam perjalanannya kemudian pasca Munas Makasar, Peradi pecah menjadi tiga kelompok yaitu Peradi  yang sekarang dipimpin Otto Hasibuan, Peradi Rumah Bersama Advokat  pimpinan Luhut Pangaribuan yang dikabarkan telah memiliki SK Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan dan Peradi pimpinan Juniver Girsang.

Sedangkan KAI sejak 2014 pecah, selain KAI lama pimpinan Indra Sahnun Lubis muncul pula Komite Penyelamat Organisasi (KPO) KAI diketuai oleh Erman Umar.

Keluarnya SKMANomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 juga mendorong  lahirnya OA-OA  lainnya baiknya yang awalnya adalah organisasi advokat yang telah ada sebelumnya (misal Peradin), maupun organisasi-organisasi yang sama sekali baru seperti Dewan Pengacara Nasional (DPN) Indonesia,Semua organisasi advokat baru tersebut pada umumnya mengklaim sebagai organisasi advokat yang sah karena telah memiliki SK Menkumham.

Secara normatif menurut UU Advokat seharusnya OA hanyalah satu sebagai wadah tunggal advokat (Singel Bar), namun dalam prakteknya organisasi advokat bukan lagi wadah tunggal tetapi telah menjadi multi bar dengan banyak organisasi advokat dan sama-sama memiliki kewenangan mengangkat advokat. Malah dengan terang-terangan juga menyatakan siap menerima anggota baru yang melompat dari organisasinya semula. Sebagai contoh seperti Hotman Paris yang menyeberang ke DPN Indonesia.

Dapat dibayangkan betapa mirisnya gambaran organisasi advokat yang menurut UU Advokat adalah penegak hukum setara dengan aparat penegak hukum lainnya (Jaksa, Polisi dan Hakim). Bagaimana mungkin marwah sebagai profesi yang mulia (officium noble) dapat dipertahankan bila setiap advokat dapat dengan mudah berpindah dari satu organisasi ke organisasi lainnya bila tak lagi kerasan di organisasi asal atau karena memang telah terkena sanksi kode etik. Organisasi lain dengan tangan terbuka dan penuh kebanggaan menerima. Salah satunya  sebagaimana tergambar dalam konferensi pers DPN Indonesia tak kala menyambut bergabungnya Hotman Paris Hutapea.

Ke depan kasus lompat pagar akan semakin marak, akibatnya marwah profesi dan organisasi advokat akan semakin jauh dari mulia.

Rekonsiliasi atau Revisi

Idealnya para advokat segera melakukan rekonsiliasi untuk kembali kepada amanat UU Advokat sebagai wadah tunggal. Sebagai wadah tunggal seharusnya level organisasi advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman karena-karena sama-sama sebagai penegak hukum sebagaimana diatur UU Advokat.

Akan tetapi kalau sekarang setiap advokat dan kelompoknya hanya menurutkan ego pribadi dan kelompoknya dan bisa dengan mudahnya mendirikan organisasi advokat dan kemudian mengajukan pengesahan sebagai badan hukum ke Kemenkumham lalu mengklaim sebagai organisasi advokat yang sah. Pastinya hal tersebut sangat bertentangan dengan norma yang diatur dalam UU Advokat.

Maka untuk mengembalikan kemuliaan profesi dan organisasi advokat para elit dan petinggi advokat harus segera mengambil langkah bersama untuk keluar dari gambaran kondisi muram advokat dan organisasi advokat saat ini yang penuh dengan konflik, pribadi maupun kelembagaan. Hapus kesan mengejar posisi dan jabatan sesama elit advokat.

Kalaulah memang kondisi multi bar yang sekarang ini telah terlanjur berlangsung sangat sulit untuk dikembalikan ke single bar maka satu-satunya jalan adalah mendorong revisi UU Advokat khususnya pengaturan baru terkait multi bar organisasi profesi advokat. Namun kalaupun mau disepakati multibar hendaknya Kode Etik dan Dewan Kehormatan Advokat tetap satu. Hal ini penting untuk menjaga marwah profesi advokat sebagai profesi yang mulia. Ke depan tak akan lagi kita mendengar advokat mudah berpindah ke organisasi lain setelah terkena sanksi pada organisasi asal, Semoga.

_____________________

Penulis Advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)

Posting Komentar untuk "Menimbang Wadah Tunggal Organisasi Advokat"