Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Kesaktian” Amien Rais dan Imunitas Pemerintahan Jokowi Saat Mewabahnya Covid19


Oleh Zenwen Pador

Sekalipun sudah disingkirkan besannya sendiri, Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN), ternyata “kesaktian’ Amien Rais belumlah memudar.  Sekalipun juga belum kesampaian menunaikan nazarnya sejak 2014 lalu  jalan kaki Yogya - Jakarta akibat terpilihnya Jokowi jadi Presiden, ternyata beliau masih menyimpan sebuah kekuatan "supranatural".

Betapa tidak dengan canggihnya beliau bisa menerawang bahwa sejak mewabahnya virus korona di Indonesia justru Jokowi beserta para pejabatnya banyak yang sudah memiliki imunitas dan kekebalan.

Imunitas dan kekebalan yang dimaksud bukan sembarang imun dan kebal dari virus korona. Tetapi lebih dahsyat lagi adalah imunitas dan daya kebal atas tuntutan hukum baik perdata, pidana termasuk korupsi maupun gugatan tata usaha negara (TUN).

Baca juga : Kenapa Harga BBM Belum Juga Turun?

Bukti tentang imunitas dan kekebalan tersebut telah dipublikasikan dengan sangat menyesal oleh Amien Rais dan beberapa tokoh lainnya yang pada akhirnya sepakat membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun bukti otentik yang dibawa oleh beliau bersama tim kuasa hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona  Virus Disease 2019.

Amien Rais dengan perantaraan para kuasa hukumnya yang seluruhnya paling kurang bergelar magister hukum dan sebagian besar ada yang profesor dan doktor ilmu hukum telah mendaftarkan permohonan uji materil (judicial review) Perpu tersebut terhadap UUD 1945.

Dengan penelaahan para pakar dan praktisi hukum itu Amien Rais semakin yakin bahwa Jokowi dan Pemerintahannya memang dengan sengaja mengambil kesempatan  di tengah kesempitan ruang dan waktu akibat serangan wabah korona,  justeru untuk membuat kebal diri sendiri dan para pejabatnya. Padahal para ahli viruspun belum berhasil menemukan anti virus agar orang memiliki imunitas  dan kekebalan terhadap virus korona tersebut.

Untuk itu Amien Rais meminta agar MK menyatakan Perpu tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan  keberlakuannya. Dengan pembatalan oleh MK otomatis daya imun dan kekebalan yang dimiliki Jokowi beserta para pejabat terkaitnya lenyap juga.

Tetapi benarkah sesungguhnya tuduhan Amien Rais tersebut?  Dengan sedikit pengalaman beracara di MK saya mencoba menelisik Perpu yang diminta Amien Rais untuk dinyatakan tidak berlaku beberapa pasal khusunya menyangkut imunitas tadi.

Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah pasal 27 yang terdiri dari 3 (tiga) ayat yang selengkapnya berbunyi :
Ayat (1),  Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Ayat (2),  Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya  ayat (3) berbunyi, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Baca juga : Ternyata Advokat Sekaliber Adnan Buyung Pernah Melanggar Hukum

Pada intinya menurut Amien Rais dan kawan-kawan yang bertindak selaku Pemohon dalam permohonannya menilai pasal inilah yang telah memberikan  imunitas kepada Pemerintah berikut para pejabat terkait. Pemohon juga mengklaim bahwa pasal ini memberikan keistimewaan untuk pejabat tertentu untuk kebal hukum.

Menurut saya penilaan ini jelas salah dan berlebihan. Kita cermati ayat (1) pasal dimaksud jelas disana disebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.


Pasal ini sudah sangat tepat saya kira. Karena tentunya untuk menghadapi dan menangani wabah virus korona ini sudah barang tentu tidak ada anggarannya dalam APBN atau APBD maupun dalam anggaran Kementerian ataupun Lembaga Pemerintahan. Setelah Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengkalkulasi perkiraan kebutuhan untuk penanganan wabah virus korona ini sudah tentu dana yang akan digunakan merupakan realokasi dari pos-pos anggaran yang telah ada dalam APBN/APBD atau dalam anggaran Kementerian atau Lembaga yang berkemungkinan tidak terpakai atau dapat ditunda terlebih dulu demi penanganan wabah ini.

Tentu juga untuk memberikan stimulus baik dalam bidang perpajakan, kebijakan pembiayaan dan lain sebagainya membutuhkan pembiayaan ekstra dengan terjadinya wabah virus korona ini. Sudah barang tentu biaya-biaya tersebut koridornya jelas dalam rangka mengatasi dan/atau mengurangi dampak akibat wabah.

Tentunya ini adalah biaya yang nyata dan real harus dikeluarkan. Apa jadinya kalau biaya tersebut digolongkan sebagai kerugian negara. Sudah barang tentu tidak akan ada keberanian dari Pemeritah maupun Pemda untuk mengambil inisiatif menanggulangi wabah virus korona ini.
Karena ujung-ujungnya kerja canggih KPK sudah menanti bahkan sudah memberikan warning dari jauh hari tentang besarnya ancaman hukuman bagi siapapun yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri ataupun pihak lain (korupsi).

Sepanjang biaya yang dimaksud dalam pasal ini adalah memang dilatarbelakangi dan ditujukan dalam rangka penanganan dan penanggulangan wabah termasuk dampaknya dan semua itu dapat dibuktikan tentu tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.  Sehingga seharusnya bebas dari dugaan merugikan keuangan negara. Lain halnya kalau benar-benar punya niat jahat, menyalahgunakan kewenangan  yang berakibat pada kerugian negara ancamannya jelas  tindak pidana korupsi. 

Akan halnya dengan pasal 27 ayat (2) sudah sangat tegas menggariskan pada bagian akhir ayat bahwa perbuatan yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana itu adalah perbuatan atau pelaksanaan tugas yang didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Secara acontrario dapat dipahami bahwa seluruh perbuatan pejabat atau pegawai yang disebutkan dalam ayat (2) tersebut dapat dituntut secara perdata maupun pidana bila tidak didasarkan pada iktikad baik dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lalu dimana letak imunitas, keistimewaan dan kebal hukumnya. Bukanlah maksud ayat tersebut sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Siapapun yang tidak beriktikad baik, melanggar peraturan perundang-undangan sudah pasti akan berhadapan dengan proses hukum.

Begitu juga halnya dengan ayat (3) pasal yang sama. Dalam kondisi darurat kesehatan bahkan sudah sama-sama dipahami sebagai bencana global covid19 ini, sudah pasti dibutuhkan kecepatan dan keberanian Pemerintah, Pemda serta pejabat dan aparatur negara yang bertanggungjawab untuk mampu mengambil tindakan dan mengeluarkan keputusan dalam rangka menangani wabah ini.

Menurut saya sudah pada tempatnya kalau Perpu ini memberikan keleluasaan bagi Pemerintah tanpa takut dibayang-bayangi mengeluarkan keputusan yang ujung-ujungnya akan digugat ke pengadilan tata usaha negara. Lagipula setiap tindakan dan keputusan yang diambil pejabat Pemerintahan akan kecil sekali kemungkinannya akan bersifat individual dan personal. 

Pastilah akan lebih banyak sifatnya menyasar kelompok atau lapisan masyarakat tertentu tidak menyasar person per person. Karena sudah pasti menyangkut wabah penyakit yang demikian cepat penyebarannya ini akan menjadi ancaman bagi masyarakat banyak (publik).

Namun sekali kali tentunya koridor tindakan dan keputusan tersebut berkaitan dengan penanganan dan penanggulangi wabah virus korona. Serta segala upaya untuk meminimalisir dampaknya bagi masyarakat dan bagi kondisi perekonomian secara umum. Saya rasa akan  jelas dan kasat mata batasannya.

Berdasarkan pemahaman tersebut saya tidak yakin kali ini “kesaktian” Amien Rais akan benar-benar terbukti. Soalnya memahami pasal 27 dari Perpu Korona ini saja nampaknya penerawangan beliau sepertinya terlalu mengawang-awang dan bahkan terkesan ngawur.  

Sama halnya ketika beliau  dengan haqul yakin mengatakan Jokowi tidak akan menang Pilpres 2014 sampai kabarnya beliau berani bernazar akan jalan kaki Jakarta – Jogja kalau keyakinannya tidak terbukti. Hasilnya memang beliau salah. Jokowi bahkan dua periode menang Pilpres. Tapi saya memang nggak terlalu yakin beliau pernah bernazar begitu. Tapi yang jelas saya termasuk yang merasa bersyukur beliau tak menunaikan nazar tersebut. Bayangkan kalau sampai kejadiaan.....

Tapi ngomong-ngomong atas gugatan uji materil ini beliau bernazar apa ya kalau sampai kalah. Kalau boleh usul sih nazarnya yang ringan-ringan saja deh mbah Amien, misalnya Pak Amien berikan dukungan nyata buat Jokowi dan pemerintahan dalam menangani covid19 ini dan tentunya puasa nyinyir sebulan penuh khususnya pas Ramadhan nanti jika ternyata MK menolak gugatannnya. Kalau seperti itu nazarnya saya yakin kesaktian beliau  akan benar-benar berguna bagi kemaslahatan umat. Semoga saja.
_____________________
Depok, 20 April 2020

Posting Komentar untuk "“Kesaktian” Amien Rais dan Imunitas Pemerintahan Jokowi Saat Mewabahnya Covid19"