Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stempel Miskin dan Bantuan yang Menistakan


Sumber Foto : www.pikiran-rakyat.com

APA yang anda rasakan bila seseorang yang membantu anda mempublikasi secara terang-terangan identitas anda sebagai orang yang dibantu kepada orang lain?   

Saya kira sesungguhnya pasti ada perasaan nelangsa setiap penerima bantuan yang diminta berfoto dengan pihak yang memberikan bantuan. Kemudian foto tersebut dimuat  media sosial pemberi bantuan dengan caption  indahnya berbagi atau  bahkan diberitakan media cetak dan elektronik. 

Sudah barang tentu publik mengetahui kabar kebajikan tersebut dengan posisi si pemberi bantuan yang superior sedangkan pihak si penerima bantuan sebagai imperior yang tak punya pilihan selain menerima “kebaikan” tersebut.  Seantaro jagat maya dan nyata seperti wajib mengetahui bahwa si A adalah penerima bantuan yang miskin papa dari si B, pemberi bantuan yang dermawan.

Namun saya tidak tahu pasti bagaimana halnya dengan tayangan televisi yang mendeskripsikan  detil lika-liku kehidupan si miskin. Pertemuannya dengan si dermawan seolah membalik kehidupannya seratus delapan puluh derajat. Hingga si miskin nampak begtu mengharu biru dalam linangan air mata menerima pemberian si dermawan.

Apakah murni ungkapan penuh syukur dari si miskin  atau hanya sekedar akting karena tuntutan skenario dibawah instruksi pengarah acara. Namun yang pasti tayangan seperti ini ---eksploitasi detil  kemiskinan dan penderitaan seseorang ---  sangatlah tidak manusiawi rasanya. 

Mungkin dalam perspektif hubungan sesama manusia dalam sebuah kehidupan bermasyarakat barangkali realita di atas menjadi sah-sah saja sepanjang memang sama sekali tak ada pihak yang merasa dirugikan,  khususnya bagi si penerima bantuan.

Negara Menghinakan Rakyat
Namun saya tak habis pikir kalau fakta semacam itu juga harus terjadi dalam relasi Pemerintah dengan rakyat. Dalam kondisi darurat kesehatan akibat pandemi Covid 19 saat ini,  soal bantuan ini kembali heboh. Salah satunya kontroversi stempel rumah miskin bagi  masyarakat penerima bantuan pemerintah.

Betapa tidak stempel atau tulisan besar dengan warna mencolok bertuliskan  : “Rumah Keluarga Miskin Penerima Bantuan Sosial ” atau “Keluarga Prasejahtera” atau kalimat deklarasi senada lainnya memang mengundang perdebatan. Sekurang-kurangnya membuat kening orang yang membacanya berkerut.

Dipicu oleh stempel miskin tersebut, di daerah Ogan Komiring Ilir, Sumatera Selatan dikabarkan setidaknya 25 % calon penerima bantuan keluarga miskin menyatakan mengundurkan diri sebagai penerima bantuan karena merasa malu bila rumahnya harus distempel dengan tulisan tersebut. Tidak menutup kemungkinan di daerah lainpun terjadi hal yang sama.

Pertanyaannya, apakah mereka mundur karena memang faktanya tidaklah lagi miskin sehingga merasa tak berhak menerima bantuan tersebut? Belum tentu.  Sepertinya sikap tersebut lebih karena perasaan malu dengan stempel miskin tersebut.

Artinya mereka tahankan kemiskinan untuk tidak menerima bantuan lantaran tak sanggup menahan malu bila setiap saat orang yang lewat di depan rumah mereka akan membaca dan memandang ke arah mereka dengan sorot mata penuh selidik.  Padahal secara nyata mereka seharusnya memang berhak menerima dan Pemerintah berkewajiban menyalurkan  bantuan tersebut kepada mereka.

Lalu apa logika dan dasar hukumnya stempel tersebut harus diterakan di rumah mereka, rakyat miskin yang memang sudah menjadi kewajiban negara menjamin dan memberikan kehidupan layak bagi mereka? Masih perlukah mempertegas kemiskinan mereka dengan stempel tersebut? Tidaklah selayaknya negara lebih malu lagi karena stempel itu semakin mempertegas fakta negara belum mampu mensejahterakan rakyatnya?

Solusi agar tepat sasaran?
Argumentasi yang sering dikedepankan adalah agar program bantuan tersebut tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.  Alasan ini menurut saya aneh sekali.  Justeru jawaban tersebut semakin menegaskan bahwa begitu lemahnya sistem pengolahan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan Pemerintah Daerah sampai di era internet dan komputer yang super canggih saat ini masih harus menerapkan kebijakan jadul begitu.

Pada bagian lain menunjukan betapa sangat tidak sinkronnya solusi yang diambil. Toh buktinya di beberapa tempat tetap saja  terjadi salah sasaran yang sangat kasat mata. Betapa banyak rumah-rumah permanen yang dari luar terlihat megah dan sama sekali tak mencerminkan kemiskinan penghuninya tetapi tetap saja distempel miskin artinya mereka menerima bantuan sosial.

Justru pelabelan tersebut disengaja untuk mempermalukan si penerima bantuan dengan harapan mereka perlahan-lahan mundur sebagai penerima. Ironis bukan?

Melanggar Hukum
Apapun alasannya, pemberian stempel miskin tersebut sangatlah tidak etis, tidak manusiawi, melanggar hak-hak asasi manusia bahkan melanggar konstitusi.

Peraturan Menteri Sosial No. 1 tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan (PKH) mengatur bahwa program PKH bertujuan meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Dalam tataran teknis program terdiri dari bansos PKH sebesar Rp. 1.890.000,-.  Kemudian bantuan untuk lanjut usia, bantuan penyandang disabilitas serta bantuan untuk wilayah Papua masing-masing sebesar Rp. 2.000.000,- Setiap kepala keluarga akan menerima bantuan sesuai kategori dengan penerimaan uang tunai setiap bulan melalui transfer rekening.

Sejatinya program tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat masyarakat penerima bantuan. Namun bagaimana mungkin kalau prosedurnya harus menghinakan dan merendahkan kemausiaan dengan kewajiban pemasangan stempel miskin tersebut secara mencolok sehingga seantaro negeri harus mengetahuinya ?

Sama sekali saya tak menemukan pasal dan ayat dalam Permensos tadi atau dalam peraturan lainnya bahwa secara teknis setiap rumah penerima bantuan harus distempel atau dilabeli dengan kalimat deklaratif tersebut.  Begitu juga halnya dengan beberapa peraturan lain yang mewajibkan negara menyantuni fakir miskin dan anak terlantar yang tentu saja tanpa diembel-embeli pemberian stempel apapun apa lagi stempel miskin.

Kalau soal mengatasi supaya tidak salah sasaran adalah menjadi tugas aparatur pemerintahan terkait memastikan bantuan diterima mereka yang membutuhkan sesuai kriteria. Di situlah aparatur pemerintah dari berbagai tingkatan dituntut untuk bekerja transparan, profesional dan tegas.

Kita berharap negara berhenti memperlakukan rakyat secara tidak manusiawi. Bukankah umum kita pahami bagaimana agama mengajarkan sebaiknya tangan kirimu sama sekali tak mengetahui ketika tangan kananmu memberi. (Zenwen Pador).
***

Posting Komentar untuk "Stempel Miskin dan Bantuan yang Menistakan"