Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Said Didu vs Luhut Panjaitan, Vitamin atau Racun Demokrasi?

Said Didu (Foto : www.kumparan.com)

Oleh Zenwen Pador

Pada prinsipnya saya setuju kritik adalah vitamin bagi demokrasi.  Artinya semakin banyak orang memproduksi kritikan dan dikonsumsi dengan benar oleh pihak yang dikritik pastilah demokrasi akan semakin sehat. 

Kalau kritikan diarahkan kepada pemerintah beserta seluruh pejabat dan aparaturnya niscaya pemerintahan akan semakin kaya dengan vitamin yang menyuburkan demokrasi. Demokrasi subur berarti pemerintahan semakin sehat dan siapapun yang berkuasa dijamin bisa langgeng minimal sampai habis masa jabatannya.

Tapi apakah kritikan Said Didu kepada Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan benar-benar adalah vitamin demokrasi ? Pastilah akan sangat dinamis perdebatannya. Bagi Luhut sendiri, ucapan  Didu yang secara jelas mengatakan bahwa Luhut hanya memikirkan uang, uang dan uang ..... pastilah  bukanlah vitamin baginya.
Sebaliknya Luhut merasakannya sebagai racun yang harus segera dicarikan penawarnya.  Luhut sudah mencoba meminta Didu minta maaf agar menarik kembali “racun” yang telah disemburkannya. Sialnya Didu tetap keukeh bahwa dia hanya sekedar memberi vitamin bagi Luhut.

Luhut akhirnya memutuskan melaporkan Didu ke Kepolisian dengan tuduhan telah melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Tak tanggung-tanggung yang menjadi kuasa hukumnya justru adalah Patra M Zen,  mantan Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia.  Lembaga besutan Adnan Buyung Nasution ini dikenal consern pada perjuangan atas nama demokrasi termasuk membela kebebasan berpendapat dan berserikat.

Mungkinkah seorang  mantan ketua lembaga yang lekat dengan motto lokomotif demokrasi ini tidak paham apakah kritikan Didu sebenarnya vitamin demokrasi atau sebaliknya?  Kita tak tahu pasti. Apalagi bila dikaitkan dengan fenomena negatif  kecenderungan pengacara manapun akan tetap maju tak gentar membela siapa yang bayar. 

Tapi pastinya Patra tentulah sepakat dengan Luhut bahwa ucapan Didu bukanlah kritik sebagai vitamin demokrasi tetapi menurutnya pastilah racun bagi demokrasi.
Memang, banyak kalangan menyayangkan sikap yang diambil Luhut dan mirisnya didampingi oleh kuasa hukumnya yang mantan ketua YLBHI. Langkah hukum yang diambil lebih dinilai sebagai kriminalisasi atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik dalam negara demokrasi apalagi yang digunakan adalah pasal-pasal karet UU ITE yang dinilai bermasalah bagi sebuah negara demokratis.

Namun sebagian orang juga sepakat dengan langkah hukum yang diambil Luhut. Ada yang menilai tindakan Didu memang bukan lagi kritikan tapi sudah merupakan serangan terhadap personal Luhut bukan atas kebijakannya selaku pejabat publik  tetapi sudah merupakan pencemaran nama baik.

Saya sendiri menilai Didu sudah kebablasan. Kalau dianalisis secara hukum ucapan Didu yang antara lain menyebut “Saya tidak melihat dia mau berpikir membangun bangsa dan negara. Memang karakternya demikian,” sudah masuk dan memenuhi unsur-unsur penghinaan sebagaimana diatur dalam pasal 45 Ayat 3 junto 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE). 
Memang ada pengamat yang mengatakan UU ITE, dikaitkan dengan semangat kebebasan bereskpreasi, tidak cocok di negara modern yang berlandaskan demokrasi.  Harusnya semua orang dijamin kebebasannya untuk berpendapat.

Dalam tataran akademis saya sepakat, tapi secara  normatif  bagaimanapun UU adalah hukum yang harus dipatuhi. Menyalahkan UU dalam tataran akademis boleh saja tapi dalam tataran praktis penegakan hukum bagaimanapun UU harus dipatuhi sebagai hukum positif. 

Faktanya sudah berkali-kali UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi tetapi tetap saja para hakim konstitusi yang mestinya sangat mumpuni pemahamannya tentang konstitusi dan HAM  tetap pada pendirian bahwa pasal tersebut tidak melanggar konstitusi. 

Lalu kalau kita mengatakan UU ITE mencederai prinsip negara hukum yang demokratis yang dianut Indonesia tentu sama saja kita mengatakan bahwa para hakim konsitusi tersebut sama sekali tidak paham tentang prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

Memang sebagai sebuah pendapat dari pengamat hukum sekalipun memang sah-sah saja. Karena faktanya memang tak semua pengamat bola pintar main bola. Mungkin begitu juga pengamat hukum. Sehingga dengan mudah saja sang pengamat mengatakan bahwa laporan Luhut adalah langkah mundur bagi negara hukum yang demokratis atau mengancam kebebasan menyampaikan pendapat dan kritik. 

Menurut saya memang harus dibedakan antara kritik dengan penghinaan. Kritik harusnya fokus pada kebijakan atau pemikiran. Penghinaan cenderung menyerang personal dan nama baik.
Sekalipun secara normatif menurut saya masalah ini sudah duduk pidananya. Namun sudah cukup bijak permintaan maaf yang dituntut terlebih dulu oleh Luhut. Sayangnya Didu tak merespon secara positif. 

Saya mendukung untuk siapapun yang menolak minta maaf padahal sudah jelas-jelas menghina, mencemarkan nama baik, ditambah lagi menyebar hoaks, misalnya... namun tetap 'kareh angok' dalam bahasa kampung saya alias keras kepala dalam bahasa Indonesia, maka sebaiknya memang hukum harus ditegakkan. Pembelajaran hukum wajib dilakukan. Karena batas kebebasan kita adalah hak-hak orang lain.

Secara hukum menjadi hak siapapun yang merasa dihina dan dicemarkan nama baiknya untuk membela diri melalui jalur hukum yang tersedia.  Pelaporan pidana bukanlah kriminalisasi justru jalur hukum akan membuat perkara ini semakin jelas dan transparan. Tersangka  yang nantinya akan jadi terdakwa di pengadilan berhak menyampaikan argumentasi hukum pembelaan dan saksi-saksinya untuk mengimbangi dan memberikan komparasi atas dakwaan jaksa.  

Sehingga kedua belah pihak dapat melihat secara jelas dan transparan benar tidak yang disampaikan Didu adalah kritikan yang merupakan vitamin bagi demokrasi atau memang sebaliknya adalah serangan terhadap personal, menghina pribadi dan tentunya adalah racun bagi demokrasi. Ditambah lagi dengan para saksi ahli yang tentunya akan bsa dihadirkan baik oleh pihak penuntut maupun pihak yang dituntut.

Apalagi Said Didu sendiri pernah menggunakan upaya hukum yang sama ketika  melaporkan seseorang ke Bareskrim Polri atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap keluarganya menggunakan dasar pasal dan UU yang sama (UU ITE dan KUHP). https://kumparan.com/kumparannews/said-didu-lapor-penghina-nama-keluarganya-ke-bareskrim-1542643054850318538

Saat itu apakah juga Didu berpikir bahwa kicauan orang di twitter yang dia polisikan tersebut adalah vitamin bagi demokrasi?  Atau dia berpikir juga bahwa UU ITE tersebut mengekang kebebasan berpendapat dan melawan demokrasi? Saya rasa tidak.

Sejatinya proses hukum menjadi esensi sebuah negara hukum yang demokratis. Artinya semangat kebebasan menyatakan pendapat, kritik dan opini akan dapat diuji secara terbuka dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam sebuah rangkaian proses yang memberikan kesempatan berimbang kepada kedua belah  pihak untuk membuktikan dalilnya masing-masing.

Maka jelas proses hukum  bukanlah upaya untuk membungkam demokrasi apalagi sebuah  upaya kriminalisasi yang hanya berorientasi memberikan kabar pertakut bagi siapapun untuk menyampaikan pendapat.   Justeru proses hukum adalah jalan yang elegan untuk keluar dari perdebatan berkepanjangan yang pada akhirnya dapat memicu konflik tak terkendali di luar hukum yang ujung-ujungnya dapat menjadi masalah hukum baru.  Maka dari itu, mari tegakkan dan hormati proses hukum.


Catatan : Tulisan ini pernah di muat di www.kumparan.com, 21 Mei 2020

Posting Komentar untuk "Said Didu vs Luhut Panjaitan, Vitamin atau Racun Demokrasi?"