Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sertifikasi Tanah Ulayat, Haruskah Ditolak?


 Editorial 

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Namun keberadaan dan implementasi Peraturan ini nampaknya belum bisa berjalan mulus, karena adanya penolakan dari berbagai kalangan diantaranya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan MUI Sumatera Barat.

Hal-hal yang menjadi dasar penolakan antara lain menyangkut : Pertama, Permen ini mengecualikan tanah-tanah yang di atasnya telah terdapat sesuatu hak atas tanah dan harus bebas dari konflik dalam pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat. Kedua, Permen ini membagi Masyarakat Adat ke dalam dua jenis yaitu  Kesatuan Masyarakat (hukum) Adat dan Kelompok Anggota Masyarakat Adat, serta Ketiga, terkait konsep Pendaftaran Tanah Ulayat dan Hak Pengelolaan.

Satu hal yang harus digarisbawahi bagian menimbang Permen ini adalah kalimat terakhir dalam poin 2 yaitu pengaturan ini ditujukan untuk menjamin kepastian hukum atas hak ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan kaidah pendaftaran tanah.

Problemnya memang apakah landasan dan tujuan ideal ini kemudian tertuang dengan baik dalam pasal-pasal yang diatur dalam batang tubuh Permen. Inilah barangkali yang perlu kita cermati.

Tanah Ulayat harus bebas  konflik

Menurut AMAN dalam surat terbuka yang banyak dikutip media, pengecualian ini jelas salah dan menunjukkan watak diskriminatif dari peraturan ini. Pengecualian tersebut sekaligus menunjukkan sikap Pemerintah yang lagi-lagi abai terhadap semangat dari putusan MK No. 35/2012 maupun TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang keduanya jelas menghendaki adanya suatu proses penyelesaian konflik dan pemulihan terhadap wilayah-wilayah adat yang telah dirampas negara melalui hukum dan telah dialokasikan kepada berbagai investasi.

Memang Pasal 3 Permen menyebutkan Pelaksanaan Hak Ulayat oleh masyarakat hukum adat tidak dilakukan dalam hal bidang tanah:

a.   sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah;

b.   merupakan bidang tanah yang telah digunakan sebagai fasilitas umum/fasilitas sosial;

c.   merupakan bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku; dan/atau

d.   tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang telah dihapuskan oleh Ketentuan Konversi dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960.

Namun apakah itu artinya Negara berlaku diskriminatif dan abai dengan semangat dari putusan MK Nomor 35/2012 terkait dikeluarkannya hutan adat dari status tanah negara maupun semangat Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (TAP MPR No IX/2001)?

Menurut saya tentu tidak bisa serta merta disimpulkan demikian. Penyelesaian konflik dan pemulihan terhadap wilayah-wilayah adat tentunya menjadi ranah yang berbeda. Pastinya untuk bisa dilakukan pendataan dan pengadministrasian tanah ulayat harus bebas  konflik, karena itulah yang menjadi syarat sebuah bidang tanah dapat didaftarkan.

Pembedaan Kesatuan Masyarakat (Hukum) Adat dan Kelompok Anggota Masyarakat Adat.

Menurut AMAN pembagian ini tidak cukup mudah untuk dipahami mengingat Permen ini tidak memberikan contoh yang bisa dirujuk untuk membedakan keduanya. Kejelasan tentang perbedaan keduanya penting karena hal itu akan menuntun kita dalam menentukan siapa otoritas yang berwenang dalam urusan pertanahan di dalam Masyarakat Adat menurut hukum adat.

Bila kita cermati ketentuan umum Permen antara lain mengatur Kesatuan Masyarakat Hukum Adat diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan yang memiliki kelembagaan adat, memiliki harta kekayaan dari/ atau benda adat milik bersama, serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat.

Sedangkan Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat dimaknai sebagai kelompok orang yang berhimpun sebagai satu satuan sosial berdasarkan ikatan asal-usul keturunan, tempat tinggal, dan/ atau kepentingan bersama sesuai dengan kaidah hukum adat yang berlaku.

Beda keduanya terlihat bahwa yang satu memiliki kelembagaan adat, memiliki harta kekayaan dari/ atau benda adat milik bersama, serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat. Sedangkan kelompok masyarakat hukum adat sepertinya keberadaannya hanya diikat kesamaan asal-usul keturunan dan hal-hal lainnya bersifat sosial tanpa ikatan ekonomi atau adanya kelembagaan tetap dan sumber daya alam yang menjadi pengikat masyarakat adat tersebut.

Kalau dikaitkan dengan Pasal 2   Permen menyatakan Hak Ulayat dilaksanakan sepanjang pada kenyataannya masih ada menurut ketentuan hukum adat yang berlaku oleh masyarakat hukum adat. Hak Ulayat dinyatakan masih ada apabila:

a.   terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

b.   terdapat persekutuan Tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warganya dan tempat mengambil keperluan hidup sehari-hari; dan/atau

c.   terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan Tanah Ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warganya.

Bisa jadi kelompok masyarakat adat yang tidak lagi memiliki aset sumber daya alam (antara lain tanah ulayat) terjadi karena perampasan atau penguasaan sepihak dari investor atau dari Negara sendiri. Namun tidak bisa juga diartikan bahwa Negara mengabaikan kelompok masyarakat adat ini. Pastinya inilah yang menjadi tugas bersama Negara dan masyarakat adat itu sendiri untuk pengembalian hak tanah ulayatnya.

Tapi sebagai prioritas dalam pengadministarasian tanah ulayat tentu didulukan mayarakat hukum adat yang telah jelas kelembagaan dan kepemilikan tanah ulayatnya. Tidak mungkin juga proses penegasan dan pendaftaran tanah ulayat menunggu semua konflik tanah ulayat terselesaikan terlebih dulu.

Konsep Pendaftaran Tanah Ulayat dan Hak Pengelolaan

Menurut AMAN Permen ini mengatur pendaftaran tanah ulayat dan hak pengelolaan atau HPL sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bagi AMAN “Penegasan” tanah ulayat menjadi HPL di dalam Permen ATR/BPN ini adalah tindakan nyata perbuatan melawan hukum oleh pemerintah terhadap hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.

Memang dalam Pasal 15 Permen diatur bahwa bidang Tanah Ulayat yang sudah dicatat dalam Daftar Tanah Ulayat dapat diajukan permohonan hak pengelolaan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat kepada Menteri yang akan menjadi dasar untuk pendaftaran hak pengelolaan.

Namun perlu dicatat bahwa Tanah Ulayat yang sudah masuk dalam daftar tanah ulayat tersebut tidak diwajibkan untuk dimohonkan menjadi hak pengelolaan. Secara jelas disebutkan kata "dapat” dalam pasal 15 ayat (1). Jadi kalaulah misalnya masyarakat adat sudah merasa cukup sampai tahap terdatanya tanah ulayat dalam daftar tanah ulayat saja maka tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan menjadi hak pengelolaan.

Jadi sebetulnya apa yang menjadi kekuatiran AMAN dan beberapa kalangan lain termasuk MUI Sumbar sebetulnya tidak beralasan. Negara melalui pemerintah sudah berupaya menjalankan kewajibannya memfasilitasi penegasan tanah tanah ulayat sampai masuk dalam daftar tanah ulayat. Kalau masyarakat adat kuatir bahwa pendaftaran tanah ulayat menjadi hak pengelolaan akan mengancam eksistensi tanah ulayat tersebut karena kuatir dianggap sebagai tanah negara maka bisa saja masyarakat adat berhenti sampai pada tahapan tersebut. Sekalipun dalam pasal 15 ayat 3 PP 18/2021 menegaskan apabila Hak Pengelolaan hapus Tanah Ulayat  kembali ke dalam penguasaan masyarakat  hukum adat. Bukan dijadikan Tanah Negara.

Bahkan pada pasal selanjutnya ditegaskan bahwa Bidang Tanah Ulayat yang tidak diajukan penegasan sebagai hak pengelolaan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tetap memiliki status sebagai Tanah Ulayat dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga berdasarkan perjanjian sesuai perundang-undangan (pasal 16).

Akan tetapi memang, investor tentunya akan lebih terbuka melakukan kerjasama atas obyek tanah yang sudah terdaftar dan memiliki sertifikat. Dengan adanya sertifikat investor akan semakin yakin akan legalitas obyek tanah yang akan dikerjasamakan. Terhadap tanah ulayat yang telah didaftarkan dan ditingkatkan statusnya menjadi Hak Pengelolaan maka akan berlaku PP Nomor 21 tahun 2018 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Khususnya Pasal 8 PP mengatur Hak Pengelolaan yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain dapat diberikan Hak Atas Tanah berupa HGU, HGB atau hak pakai. Dapat dipahami bahwa hal ini yang memang menjadi kekuatiran beberapa kalangan dan masyarakat adat. MUI Sumbar kuatir kalau misalnya Tanah Hak Pengelolaan dari tanah ulayat tersebut yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga kemudian diterbitkan HGU, HGB, Hak Pakai atau hak lainnya dan kemudian dijadikan jaminan kredit di perbankan.

Pada saat terjadi kredit macet, maka tanah tersebut bisa jadi disita bank. Pastinya hal ini akan menjadi masalah hukum dan sengketa tidak hanya antara masyarakat adat dengan investor tetapi juga dengan pihak Bank.

Kondisi demikian bisa saja terjadi. Namun sekali lagi, sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 14 tahun 2024 Negara tidak mewajibkan masyarakat adat mengajukan pendaftaran hak pengelolaan atas tanah ulayatnya. Dan terhadap tanah ulayat yang sudah masuk daftar tanah ulayat tetap dapat dikerjasamakan dengan pihak lain.

Resiko

Namun pertanyaannya kemudian manakah yang lebih beresiko di kemudian hari termasuk apabila ada kerjasama masyarakat adat dengan investor antara Tanah Ulayat yang statusnya sudah bersertifikat dengan status Hak Pengelolaan atau sebatas terdaftar dalam daftar tanah ulayat. Sudah pasti akan lebih berisiko tanah ulayat yang belum ada sertifikat hak pengelolaannya. Kenapa? Karena tanah ulayat yang baru terdaftar belum dikukuhkan secara hukum siapa pemiliknya atau penguasa masyarakat hukum adatnya. Bisa saja pihak-pihak lain yang merasa memiliki tanah ulayat tersebut melakukan klaim dan mengajukan gugatan atas kepemilikan tanah ulayat tersebut. Kita tahu sistem pembuktikan penguasaan tanah di Indonesia akan lebih kuat dengan sertifikat yang menegaskan kepemilikan atau penguasaan atas obyek tanah tertentu.

 Namun apabila dianggap bahwa dengan disertifikatkan sebuah obyek tanah ulayat akan semakin mudah untuk dipindahtangankan menurut saya sangat tergantung kepada kuatnya sistem yang bekerja dalam masyarakat adat bersangkutan. Kalau dengan mudahnya oknum penguasa adat memindahtangankan sebuah tanah ulayat artinya sistem komunal dan pengawasan bersama dalam masyarakt adat tidak bekerja dengan baik.

Lagipula pengalihan obyek tanah yang jelas-jelas adalah tanah ulayat yang konsepnya adalah merupakan kepemilikan bersama masyarakat hukum adat tentu tidak semudah tanah hak milik perseorangan. Pejabat berwenang harus memastikan bahwa persetujuan anggota masyarakat hukum bersangkutan telah didapatkan.   

(Zenwen Pador)

Posting Komentar untuk "Sertifikasi Tanah Ulayat, Haruskah Ditolak? "